"Yup."

"Aku khawatir jangan-jangan itu karena pengaruh sesuatu yang ada di sekitar Jaemin," ujar Livia ngeri. "Mungkin sedikit demi sedikit dia dipaksa mengingat."

Aku tercekat mendengarnya. Jadi mungkin selama ini Jaemin sebenarnya tidak benar-benar 'merasakan' aku?

"Jadi, menurut kamu..." ucapku perlahan. "Akan lebih baik kalau aku nggak muncul di sekitar Jaemin biar memori dia nggak akan kembali ㅡselamanya?"

Livia terhenyak.
"Aㅡ iyaㅡ ah, bukan," gagapnya. "Aku nggak bermaksud menyuruh kamu buat menjauh dari Jaemin."

"Iya, aku tau," tukasku. "Tapi menurut kamu kondisinya gitu?"

Livia diam cukup lama sebelum mengangguk ragu-ragu.

Aku tertawa patetik sambil memijat kepalaku pelan.
"Aduh, nggak tau deh. Aku pusing."

"Sorry," ujar Livia. "Itu semua cuma spekulasi, siapa tau bisa mencegah kejadian yang lama terulang lagi. Mungkin dulu aku emang brengsek, tapi sekarang aku nggak ada niat buruk ㅡfor God sake."

Aku tersenyum tipis pada Livia.
"Iya, aku percaya," ujarku. "Lagipula terakhir aku ketemu Jaemin dia bilang dia nggak inget apapun kok, mungkin kadang-kadang dia cuma terbawa suasana."

Sejenak hening. Kami menghadapi cangkir masing-masing, americano.
Ingatanku melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. Aku kaget Jaemin tiba-tiba melakukan itu. Interkom di sebelah pintu sampai korslet karena terbentur punggungku. Dan Mark melihat semua itu, aku malu.

Coffee Bay ini lebih kecil dan tidak terlalu ramai, karena letaknya agak jauh dari jalan raya utama. Saat ini hanya aku dan Livia pengunjung yang tersisa. Di luar salju mulai turun lagi.

Tiba-tiba masuk seseorang dengan postur yang kukenal, kepalanya ditutupi topi jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Sampai akhirnya dia cukup dekat dengan tempat kami duduk.

"Ten!" seruku pelan.

Dia menoleh, aku tidak salah orang.
"Alice Kim?"

Ten menghampiri kami, tapi langkahnya terhenti seketika saat melihat siapa yang duduk di hadapanku.

"Loh..." matanya membulat. "D-dia..."

Livia memalingkan wajah lalu menyandang tasnya.
"Kayaknya lebih baik aku pergi," dia tersenyum kaku padaku. "Take care, bye."

Aku sempat memanggil Livia beberapa kali, tapi dia mengabaikanku dan buru-buru pergi sementara Ten masih cengo di tempat.

"Anak orang ketakutan gara-gara kamu," kelakarku pada Ten.

"Livia Byun?" desisnya seakan nama itu beracun. "Kalian... ngapain?"

"Girls talk," aku mengangkat bahu. "Dia bukan orang yang sama lagi, Ten. Ceritanya panjang."

Ten pun duduk di kursi yang ditinggalkan Livia untuk mendengar cerita lengkap tentang semuanya.

"Kirain kamu udah tau dari Mark," ujarku.

"Mark? Ketemu dia pun jarang, dia sibuk," kata Ten.

Aku mengerutkan dahi, tadinya mau menceritakan tentang betapa seringnya aku bertemu Mark ㅡtapi urung. Kalau Mark sebenarnya sibuk, bagaimana caranya selama ini diaㅡ

"Sorry, di hari itu gue nggak bisa bantu banyak," ujar Ten.

"Udah lah, udah berlalu," jawabku.

"Tapi gue tau tentang ingatannya Jaemin," kata Ten. "Emang nggak ada yang bisa dilakuin sama sekali?"

Aku menggeleng.
"Dia sendiri yang bilang nggak inget apapun ㅡkita ketemu beberapa kali."

"Dan lo nggak mau coba?"

"Nggak bisa Ten. Coba bayangin aku bilang selama ini dia jadi arwah penasaran yang aku bantu buat kembali ke tubuhnya, tapi kalau sekarang dia tanya aku bisa liat makhluk halus atau enggak ㅡjawabannya enggak. Kan konyol."

Ten terdiam.
"Aneh," gumamnya. "Kenapa sih kemampuan itu bisa tiba-tiba hilang?"

Aku tersenyum masam.
"Everything happens for reasons."

"Tapi ada orang lain yang tau kan? Banyak malah," tukas Ten.

"Iya sih, tapi tanpa bukti semua itu kedengarannya terlalu mengada-ada. Kamu aja dulu butuh cukup lama buat percaya kan?"

Ten tertegun lalu menghela nafas.
"Yang jelas, thanks. Karena udah bawa Jaemin kembali."

"Nggak akan berhasil tanpa bantuan kamu juga," ucapku tulus. "Ngomong-ngomong kamu sendirian atau lagi nunggu orang lain?"

"Sebenernya janjian. Sama Hansol hyung dan... Jaemin," jawab Ten. "Mereka kayaknya datang sebentar lagi."

Serangan panik langsung melandaku saat tahu Jaemin bisa sampai disini kapan saja. Lebih baik aku pergi secepatnya. Setelah yang terjadi kemarin-kemarin, aku tidak sanggup bertemu dengannya.

"Oh," aku berusaha tampak tenang. "By the way, aku ada janji. Gotta go."

"Loh, buru-buru banget," kata Ten.

"Iya, ini udah telat," bohongku.

Ten ikut berdiri saat aku berdiri. Dia merangkulku dan menepuk punggungku dengan bersahabat.
"Gosh, it's been a while," ujarnya. "Hati-hati ya, see you."

Aku balas menepuknya bahunya keras-keras.
"Iya, seneng bisa ketemu lagi," aku tersenyum. "Have a blast."

Dia mengangguk, lalu kami saling melambai sebelum aku keluar dari Coffee Bean. Aku bergegas menyetop taksi dan pulang, takut Jaemin keburu datang.
Sialnya, sepanjang jalan obrolan mengerikan dengan Livia terus menghantuiku. Membuatku pusing dan takut.
.
.
.
.
.
ㅡtbc

ini tiap chapternya kepanjangan nggak sih?
aku takut kalian gumoh berlian saking panjangnya :/

fyi wattpad aku masih agak edan, gabisa bales komen atau wall message hhhhh

Vacancy ✔ [revisi]Where stories live. Discover now