“Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya cepat, nada cemasnya sulit disembunyikan. “Masih pusing? Ada yang sakit? Perutmu bagaimana?”
Taeyong menggeleng pelan. “Sudah lebih baik,” jawabnya jujur. “Kepalaku masih agak berat, tapi tidak seperti semalam.”
Jaehyun tidak langsung percaya. Ia menatap Taeyong lekat, seolah mencari tanda-tanda lain yang terlewat. Tangannya turun ke perut Taeyong, mengelusnya perlahan, lalu kembali naik, menggenggam tangan istrinya.
“Sungguh?” tanyanya lagi, lebih pelan. “Kalau ada apa pun, tolong bilang. Jangan ditahan.”
Taeyong tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Iya, Sayang.”
Jaehyun menghela napas panjang—napas yang terasa seperti baru benar-benar ia lepaskan pagi itu. Ia menunduk, mengecup punggung tangan Taeyong singkat, lalu menyandarkan keningnya ke sana.
“Semalam aku sangat takut,” ucapnya lirih, jujur.
Taeyong meremas genggaman itu pelan, menggerakkan jempolnya, mengusap punggung tangan Jaehyun dengan ritme yang tenang—menenangkan.
“Maaf,” ucapnya akhirnya, suaranya lembut namun jelas. “Aku membuatmu sangat cemas semalam.”
Jaehyun menggeleng pelan, keningnya masih bersandar di tangan Taeyong. Rambutnya jatuh sedikit menutupi wajah, napasnya hangat menyentuh kulit Taeyong.
“Jangan minta maaf,” katanya lirih. “Jangan pernah merasa bersalah karena aku khawatir padamu.”
Ia diam sejenak, lalu menarik napas dalam sebelum melanjutkan, suaranya sedikit bergetar meski berusaha tetap tenang.
“Kau sedang mengandung anak kita. Kalau aku tidak cemas, justru itu yang salah.”
Perlahan, Jaehyun mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Mata Jaehyun tampak lelah, namun penuh—penuh rasa takut semalam yang belum sepenuhnya hilang, penuh cinta yang tidak pernah berkurang.
Tangannya naik, menyentuh pipi Taeyong dengan lembut. “Aku hanya ingin kau baik-baik saja,” lanjutnya pelan. “Itu saja.”
Taeyong menelan ludah, matanya sedikit berkaca. Ia mengangguk kecil, lalu tersenyum tipis—senyum yang sarat rasa.
“Aku tahu,” katanya. “Dan aku bersyukur.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka, hangat dan rapuh, tapi justru itulah yang membuatnya terasa nyata.
Jaehyun akhirnya menarik tangannya perlahan, lalu bangkit dari tepi ranjang. Ia merapikan selimut Taeyong lebih dulu—gerakan kecil yang refleks—sebelum berdiri sepenuhnya.
“Aku buatkan bubur dulu,” katanya sambil menoleh. “Kau harus makan sesuatu.”
Taeyong mengangguk kecil, lalu menarik selimut lebih rapat ke dadanya.
“Dan hari ini,” lanjutnya pelan namun pasti, “kau harus benar-benar istirahat. Tidak ke rumah sakit, tidak mengurus apa pun. Hanya berbaring, makan, dan tidur kalau perlu.”
Taeyong terdiam sejenak. Biasanya, kalimat seperti itu akan ia sambut dengan bantahan halus, atau setidaknya argumen kecil. Namun pagi itu berbeda. Kepalanya masih sedikit berat, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, dan bayangan wajah Jaehyun semalam—pucat karena cemas—masih jelas terpatri di ingatannya.
Ia mengangguk pelan. “Baik,” katanya akhirnya. “Hari ini aku istirahat.”
Raut Jaehyun langsung melunak. Sudut bibirnya terangkat tipis—lega, bukan menang.
“Terima kasih,” ucapnya tulus.
Sebelum benar-benar keluar kamar, Jaehyun kembali mendekat. Ia menunduk, mengecup kening Taeyong singkat namun penuh makna.
YOU ARE READING
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 39
Start from the beginning
