Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Jaehyun duduk di ujung sofa, punggungnya sedikit membungkuk, kedua siku bertumpu di lutut, dan kedua tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah sejak tadi tak disentuh.
Kopi itu sudah dingin, aromanya pun mulai memudar. Tapi bukan itu yang mengganggunya. Ada hal lain. Hal yang tidak bisa ia pegang, tidak bisa ia tafsirkan dengan logika, tapi terasa sangat nyata menyesaki dadanya.
Ia menatap kosong ke depan. Pandangannya menembus dinding, menembus ruangan, menembus waktu, seakan mencari sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa dadanya terasa sesak belakangan ini.
Semuanya masih sama, bukankah begitu? Rumah ini tetap sunyi seperti biasa. Taeyong masih tersenyum seperti dulu. Mereka masih makan malam bersama, sesekali bercanda seperti saat-saat nyaman yang dulu. Tapi ada sesuatu... yang berbeda.
Mungkin ini tentang waktu. Waktu yang kini tidak lagi dimilikinya sepenuhnya seperti dulu. Waktu Taeyong yang kini terbagi dengan seseorang bernama Kim Mingyu, dokter baru yang namanya terdengar semakin sering akhir-akhir ini.
Jaehyun tahu, Taeyong tidak berubah. Tidak dalam cara yang bisa dia tunjuk langsung. Tapi juga tidak dalam cara yang bisa dia abaikan begitu saja.
Dan yang paling menyakitkan bukan perubahan itu sendiri.
Yang menyakitkan adalah saat kau sadar, seseorang yang begitu dekat denganmu... bisa terasa begitu jauh dan kau bahkan tidak punya hak untuk bertanya kenapa.
Dulu, ketika mereka masih tinggal di rumah keluarga Jaehyun, tidak ada yang lebih alami dari berada di sisi Taeyong. Ia ada, Jaehyun ada. Dunia mereka tidak butuh penjelasan. Tapi kini, bahkan dalam satu atap, dalam satu rumah yang katanya rumah mereka berdua, jarak itu mulai terasa.
Jaehyun menunduk. Pikirannya menggema dengan banyak tanya yang tak bisa ia sampaikan. Apakah Taeyong bahagia? Apakah ia merasa nyaman? Apakah Mingyu memberikan sesuatu yang tidak bisa Jaehyun beri?
Dan lebih dari semua itu, ada satu pertanyaan yang terus berputar di benaknya.
Sampai kapan ia harus pura-pura baik-baik saja, sementara hatinya menahan terlalu banyak hal yang tidak boleh ia ucapkan?
Suara pintu terbuka menyadarkannya dari lamun panjang. Jaehyun segera menoleh, mendapati sosok itu berdiri di depan pintu dengan senyum lelah yang tak pernah gagal meluluhkan hatinya.
“Aku pulang.” Kata Taeyong dengan suara yang nyaris setengah pelan. Jas tipis yang dikenakannya tampak sedikit kusut dan rambutnya yang biasanya tertata rapi terlihat lemas, seperti dirinya yang sudah berdiri lebih dari sepuluh jam di ruang tindakan rumah sakit.
Jaehyun mengangguk, mencoba memanggil kembali dirinya yang tadi sempat hanyut jauh.
“Sudah makan?”
Taeyong menggeleng sambil duduk di sisi lain sofa, melepaskan jam tangan dan menyandarkannya di meja kecil di depannya. “Tadi tidak sempat. Operasi terakhir selesai lewat jam delapan. Mingyu meminta bantuanku untuk memeriksa satu pasien lagi.”