Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Penerbangan singkat itu terasa lebih panjang bagi Jaehyun. Ia duduk di samping Taeyong di deretan kursi dekat jendela, dengan tangan kanan yang tak pernah lepas menggenggam tangan istrinya. Dari awal pesawat lepas landas, matanya tak berhenti memeriksa. Pandangan khawatir yang lembut, memastikan warna wajah Taeyong tetap segar, memastikan napasnya teratur, memastikan perutnya tidak menegang karena mual atau nyeri.
Sesekali Jaehyun mencondongkan tubuh, membisikkan pertanyaan nyaris tak terdengar.
“Masih nyaman?” “Kepalamu pusing?” “Mualnya datang lagi?”
Taeyong hanya menggeleng atau menjawab pelan. “Aku baik-baik saja.” disertai senyum kecil yang belum hilang sejak pagi. Ia mencoba menenangkan Jaehyun, meski tak bisa menyangkal bahwa dirinya memang sedikit lebih lelah dari biasanya.
Jaehyun sesekali mengelus perut datar milik Taeyong, perlahan dan penuh kasih. Tangannya hangat dan gerakannya selalu hati-hati, seolah menyapa kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam sana.
Tak lama setelah itu, kelopak mata Taeyong mulai berat. Meski ia mencoba tetap membuka mata dan menyimak suara kabin, tubuhnya tidak bisa melawan rasa kantuk yang muncul tiba-tiba. Jaehyun menyadari itu dengan cepat. Ia melepaskan jaket tipis yang ia kenakan dan menyelimutkan ke tubuh Taeyong, membiarkan kepala istrinya bersandar di bahunya.
“Tidurlah sebentar, Sayang.” Bisiknya.
Dan Taeyong pun tertidur, tanpa suara, dengan napas ringan dan tangan tetap dalam genggaman Jaehyun.
Sekitar satu jam kemudian, suara dari awak kabin memberitahu bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Internasional Gimhae, Busan. Jaehyun membangunkan Taeyong dengan sentuhan lembut di pipi, dan suara pelan di dekat telinga.
“Sayang, kita akan mendarat sebentar lagi.”
Taeyong membuka mata perlahan, mengangguk dan meluruskan duduknya. Jaehyun segera membantu mengencangkan sabuk pengaman dan merapikan selimut.
Setelah mendarat dan keluar dari kabin, mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar bandara. Jaehyun sempat menawarkan untuk memesan mobil pribadi tapi Taeyong menolak pelan. “Naik taksi saja. Lebih cepat dan aku tidak apa-apa.”
Mereka berjalan menuju antrian taksi dan tak lama kemudian sudah duduk di bangku belakang mobil yang membawa mereka melaju keluar dari area bandara. Jaehyun meletakkan tangan di atas tangan Taeyong yang bertumpu di pahanya, mengusap lembut.
“Apa kau yakin masih kuat?” Tanya Jaehyun pelan, kepalanya sedikit menoleh.
Taeyong menoleh, menatap Jaehyun dengan mata teduh yang tampak jauh lebih hangat dari bias cahaya kota Busan di luar jendela. “Aku kuat. Selama ada dirimu.”
Taksi berhenti perlahan di depan rumah yang sudah sangat akrab di mata Taeyong. Rumah dengan pagar abu tua yang dipenuhi pot bunga milik Eomma dan jendela besar di lantai dua yang selalu terbuka saat cuaca cerah. Hatinya sedikit berdebar saat menatap bangunan itu.