Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Siang itu, langit Seoul cerah, tapi tidak dengan wajah Taeyong. Ia duduk di sofa ruangan Doyoung, menatap kosong ke arah cangkir kopi yang sudah mulai dingin. Doyoung yang duduk di meja kerjanya sambil mengetik laporan pasien, sesekali melirik sahabatnya itu dengan bingung. Sementara Ten baru saja masuk sambil membawa dua bento box dari kafetaria, langsung tahu ada yang tidak beres.
“Aku hanya beli dua, karena kupikir kau sudah makan di ruanganmu sendiri.” Ujar Ten sambil meletakkan makanannya di meja.
Taeyong tidak menjawab. Ia hanya mengangguk singkat.
Ten menaikkan alis. “Kau kenapa sih, murung sekali? Wajahmu seperti habis kehilangan pasien padahal kau baru dua hari cuti.”
Doyoung akhirnya ikut bersuara, meski tetap menatap layar. “Cuti ke Busan kan? Bertemu orang tuamu. Bukannya harusnya senang?”
Taeyong hanya mengangkat bahu.
Doyoung dan Ten saling pandang, sebuah isyarat diam yang hanya bisa dimengerti oleh sahabat yang sudah terlalu lama saling baca pikiran. Ten akhirnya bangkit, duduk di sandaran kursi tempat Taeyong bersandar, lalu menepuk pelan bahunya.
“Ada apa?” Suaranya lembut, tapi jelas penuh dorongan.
Butuh beberapa detik sebelum Taeyong membuka mulut. Napasnya ditarik panjang. Seolah ia sedang memilih kata-kata.
“Aku ke Busan karena Eomma menelpon memintaku pulang, katanya penting. Dan ternyata…”
Dia berhenti sebentar, jari-jarinya mengusap pelan celana dokternya yang rapi.
“…untuk dikenalkan dengan anak dari rekan bisnis ayahku. Namanya Sera.”
Ruangan langsung hening selama beberapa detik.
“Jangan bilang ini...” Doyoung menghentikan ketikannya. “perjodohan?”
Taeyong mengangguk pelan. “Appa dan Eomma bilang usiaku sudah cukup. Mereka bilang aku terlalu fokus pada pekerjaan, tidak pernah terlihat dekat dengan siapa pun. Jadi mereka pikir, ini saatnya.”
Ten dan Doyoung saling berpandangan. Tidak ada dari mereka yang tertawa seperti biasanya. Tidak ada lelucon. Karena mereka tahu, ini bukan hal yang sepele.
“Dan kau menolak, kan?” Tanya Ten hati-hati.
Taeyong menunduk. “Tentu saja.”
**
Flashback – Busan, dua hari lalu.
Langit di Busan mendung, angin laut sempat menyapu rambut Taeyong saat ia turun dari taksi di depan rumah orang tuanya, rumah besar yang sejak dulu terasa terlalu sepi. Ia masuk ke dalam dengan langkah tenang, disambut suara sepatu hak ibunya yang tergesa di lantai marmer.