Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sudah enam bulan sejak nama mereka tercetak berdampingan di lembaran resmi yang diakui negara. Enam bulan sejak kata “suami-istri” menjadi sandi yang mereka sepakati, bukan karena cinta tapi karena keadaan. Enam bulan sejak awal dari sebuah sandiwara yang kini telah mereka lipat rapi dan simpan jauh di laci kenangan.
Hari ini adalah tepat bulan keenam dari pernikahan itu.
Seharusnya… hari ini adalah batas waktu. Garis akhir dari kontrak yang mereka buat, dari kesepakatan yang mereka jalani demi menenangkan keluarga dan menjaga luka masing-masing.
Namun tidak ada yang diakhiri. Tidak ada yang disudahi.
Beberapa minggu lalu, kesepakatan itu mereka hapuskan. Dengan keberanian yang lahir dari pengakuan, dari ciuman pertama di rooftop rumah mereka dan dari malam-malam yang penuh pelukan, luka yang disembuhkan perlahan dan janji-janji kecil yang tidak perlu diucap, hanya cukup diwujudkan.
Kini, tidak ada lagi kontrak. Tidak ada lagi peran. Tidak ada lagi batas waktu yang menghitung mundur hari.
Yang tersisa hanyalah kehidupan pernikahan yang nyata dengan dua hati yang belajar saling mencintai sepenuhnya, bukan karena terpaksa, bukan karena takut kehilangan tapi karena mereka memang tidak bisa—dan tidak ingin saling melepaskan.
Jaehyun masih membangunkan Taeyong tiap pagi dengan kecupan ringan di pelipisnya, menyeduh kopi dengan takaran yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
Taeyong sesekali menyiapkan bekal Jaehyun dengan hati-hati, menulis catatan kecil di kertas yang diselipkan diam-diam di dalam kotak makan siang.
Dan hari ini, yang kebetulan jatuh di hari libur, mereka memutuskan untuk tetap di rumah.
Taeyong duduk menyandar di sofa dengan kaus kebesaran milik Jaehyun dan rambut sedikit berantakan, satu tangannya memegang remote TV, sementara yang lain sibuk merapikan lembaran dokumen medis yang kemarin sore sempat ia bawa pulang. Jaehyun muncul dari dapur dengan dua cangkir teh hangat di tangan, aroma chamomile mengambang ringan di antara mereka.
Ia menyodorkan satu cangkir ke arah Taeyong, yang menerimanya dengan gumaman pelan.
“Terima kasih.” katanya, menyelipkan kakinya ke bawah tubuhnya lalu menyesap pelan.
Mereka duduk dalam diam beberapa saat, hanya suara dari televisi yang menampilkan tayangan dokumenter alam yang tak benar-benar mereka perhatikan.
Hingga tiba-tiba, Jaehyun melirik ke arah kalender kecil yang terpasang di sisi rak buku. Ia menyipitkan mata, seperti mencoba mengingat sesuatu, lalu tersenyum samar.