Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Setelah malam yang terasa seperti titik balik segalanya, bukan sekadar karena pelukan di bawah langit kota yang sunyi, bukan pula karena ciuman pertama yang tak lagi ditukar atas nama kontrak, tapi karena akhirnya kebenaran yang selama ini tersembunyi menemukan suaranya. Taeyong dan Jaehyun memasuki pagi dengan rasa yang berbeda.
Tidak ada janji manis. Tidak ada kata-kata besar. Tapi segalanya berubah.
Pagi itu, Jaehyun tak hanya membangunkannya dengan sentuhan di pipi. Ia menatap lebih lama, seolah ingin memastikan bahwa yang ada di hadapannya benar-benar nyata. Dan Taeyong, yang biasanya hanya menunduk atau tersenyum kecil, kini membalas tatapan itu dengan kehangatan yang sama.
Mereka tidak membicarakan apa yang akan terjadi setelah ini. Tidak membahas bagaimana perasaan itu akan dihadapi dalam keseharian. Tapi keduanya tahu, sejak malam itu, mereka tidak lagi berdiri di antara batas samar bernama pura-pura.
Namun kenyataan tetap berjalan. Hidup menuntut mereka kembali menjalankan peran masing-masing. Dan siang itu, Taeyong kembali ke rumah sakit, tempat di mana kenyataan kadang lebih keras dari apa pun yang bisa dihadapi di rumah.
Koridor panjang rumah sakit selalu terasa sama. Bau antiseptik, langkah cepat para perawat, denting suara troli obat yang berpacu dengan waktu, dan... wajah-wajah yang berharap pada tangan para dokter seperti dirinya.
Taeyong mengenakan jas dokternya perlahan. Rambutnya masih sedikit basah karena ia terburu-buru berangkat setelah sarapan bersama Jaehyun, yang pagi ini secara diam-diam menyelipkan vitamin di saku jas putihnya, hanya dengan catatan kecil bertuliskan,
“Jangan lupa makan siang. – J.”
Ia sempat tersenyum kecil sebelum kemudian menarik napas dalam dan mulai mempersiapkan dirinya menyelami dunia pasien-pasien kecil yang menunggunya.
Sudah beberapa hari sejak kejadian Jieun... dan meski luka itu masih menempel erat di pikirannya, hari-hari harus terus berjalan.
“Dokter Taeyong,” suara perawat senior menyapanya dari ambang pintu. “Pasien baru, anak usia lima tahun. Demam tinggi sejak semalam, belum diketahui penyebab pasti. Sudah di ruang pemeriksaan dua.”
“Baik. Terima kasih, aku ke sana sekarang,” jawabnya sambil menyampirkan stetoskop ke leher.
Langkahnya terasa lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena mimpi buruk semalam tidak datang lagi. Mungkin karena pagi tadi dia bisa sarapan tanpa harus memaksakan diri. Atau mungkin... karena seseorang kini menunggunya pulang, bukan karena kontrak, tapi karena cinta.
Ruang pemeriksaan sudah menunggu. Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk, memasang senyum tipis yang biasa ia beri pada anak-anak yang takut akan bau rumah sakit.
“Halo,” ucapnya lembut pada anak perempuan kecil yang duduk di pangkuan ibunya. “Namaku Dokter Taeyong. Kita berteman dulu, ya, sebelum aku periksa?”