“Aku tahu,” jawab Jaehyun cepat, menahan getar di suaranya. “Kau demam.”

Ia membantu Taeyong duduk bersandar, satu tangannya menopang punggung istrinya dengan hati-hati. “Kita ke rumah sakit, ya.”

Taeyong langsung menggeleng kecil, lemah tapi tegas. “Tidak… aku tidak mau.”

“Taeyong—”

“Aku hanya demam,” potong Taeyong pelan. “Tolong… aku ingin di rumah saja.”

Jaehyun menelan ludah. Tangannya masih menempel di punggung Taeyong, tapi pikirannya sudah melayang ke segala kemungkinan yang tidak ingin ia bayangkan.

“Kau sedang hamil,” ucapnya, suaranya lebih tegas dari yang ia maksudkan. “Dan demammu tinggi. Bagaimana aku bisa tidak cemas?”

Taeyong menunduk, napasnya sedikit tersengal. “Aku tahu kau khawatir. Tapi aku tidak ingin membuat keadaan jadi besar di tengah malam.”

Jaehyun menggeleng, matanya mulai memerah. “Ini bukan soal besar atau kecil. Ini soal kau dan anak kita.”

Hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terus berdetak.

Taeyong mengangkat wajahnya perlahan. “Aku baik-baik saja, Hyun. Tolong percaya aku.”

Jaehyun memejamkan mata sebentar, berusaha menenangkan dirinya. Saat membukanya kembali, keputusannya sudah terbentuk.

“Kalau begitu,” katanya pelan tapi tidak bisa ditawar, “aku akan hubungi Ten.”

Taeyong langsung menatapnya. “Sekarang? Ini sudah dini hari. Aku tidak mau mengganggu waktu istirahatnya.”

“Tidak,” jawab Jaehyun tegas. “Kau tidak mengganggu siapa pun. Ten adalah dokter yang menangani kehamilanmu, dan aku tidak bisa menoleransi ini lebih lama.”

Ia meraih ponselnya dari meja samping ranjang. Tangannya sedikit gemetar, tapi tekadnya utuh.

“Maaf,” lanjut Jaehyun, menatap Taeyong dengan sorot mata penuh cemas dan cinta. “Aku percaya kau kuat. Tapi malam ini, kau perlu diperiksa, ya?”

Taeyong menatapnya lama. Lelah. Panas. Tapi akhirnya ia mengangguk kecil, menyerah bukan karena takut—melainkan karena ia tahu, ini adalah cara Jaehyun mencintainya.

“Baik,” katanya pelan. “Hubungi Ten.”

Jaehyun langsung menekan layar ponselnya.

Nada sambung terdengar hanya sekali sebelum suara serak Ten muncul di ujung sana.

“Jaehyun?”

“Ten,” jawab Jaehyun cepat, tanpa basa-basi. “Maaf menghubungimu dini hari. Taeyong demam tinggi. Dia berkeringat banyak dan terlihat sangat tidak nyaman.”

Hening sejenak. Bukan hening karena terkejut—melainkan karena Ten sedang langsung memproses kemungkinan terburuk di kepalanya.

“Sejak kapan?” tanya Ten akhirnya, suaranya sudah berubah menjadi profesional.

“Aku baru sadar sekitar sepuluh menit lalu. Suhu badannya tinggi sekali.”

“Baik, aku akan datang sekarang. Jangan beri obat apa pun dulu. Pastikan Taeyong tetap setengah duduk dan minum air hangat sedikit demi sedikit.” ujar Ten tegas.

Jaehyun mengangguk meski tahu Ten tak bisa melihatnya. “Baik. Terima kasih, Ten.”

“Aku berangkat sekarang bersama Johnny,” lanjut Ten.

Sambungan terputus.

Jaehyun meletakkan ponsel dan langsung kembali ke sisi ranjang. Ia membantu Taeyong bersandar lebih nyaman, menyelipkan bantal di punggungnya, lalu menyodorkan segelas air.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now