Ia berhenti sejenak, rahangnya mengeras samar.

“Kemarin, ia hampir jatuh di rumah sakit. Aku tidak ada di sana saat itu terjadi.”

Yuta menegakkan tubuh. “Tapi sekarang dia baik-baik saja?”

“Ya. Fisiknya baik. Tapi itu tidak membuat rasa khawatirku hilang,” jawab Jaehyun.

Johnny menyilangkan tangan. “Kau sudah bicara soal cuti?”

“Sudah,” Jaehyun tersenyum kecil tanpa humor. “Sejak kemarin. Bahkan sebelum itu, tapi kalian tahu bagaimana Taeyong.”

Yuta ikut tersenyum tipis. “Kalau dia merasa masih sanggup, tidak ada yang bisa menghentikannya.”

“Ya,” kata Jaehyun pelan. “Aku tidak ingin mengurungnya hanya karena rasa takutku sendiri. Tapi di saat yang sama, aku harus menelan kekhawatiran itu setiap detik saat aku tidak berada di sisinya.”

Johnny menatap Jaehyun lama, lalu berkata, “Kau bukan suami yang buruk hanya karena kau tidak bisa mengontrol segalanya.”

“Aku tahu,” jawab Jaehyun. “Tapi tetap saja sulit.”

Yuta mencondongkan tubuh sedikit. “Yang bisa kau lakukan sekarang adalah terus ada. Mendukung tanpa menekan, dan percaya bahwa Taeyong tahu batas tubuhnya.”

Jaehyun mengangguk pelan. “Aku sedang belajar melakukan itu.”

Johnny berdiri, menepuk pundak Jaehyun singkat. “Dan kau tidak sendirian. Kalau perlu apa-apa, kami ada.”

Jaehyun menatap kedua sahabatnya, lalu tersenyum tipis—senyum yang kali ini lebih tulus.

“Terima kasih,” katanya.

Makan siang itu berakhir tanpa solusi pasti. Tapi setidaknya, Jaehyun tidak lagi memikul kekhawatirannya sendirian.

**

Dan kekhawatiran Jaehyun pun benar-benar terjadi.

Jam dinding di kamar menunjukkan pukul tiga pagi ketika Jaehyun terbangun dari tidurnya. Awalnya hanya karena insting—perasaan samar bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tubuh di sampingnya bergerak gelisah, tidak seperti biasanya.

Jaehyun membuka mata perlahan.

Taeyong masih terlelap, tapi tidurnya jauh dari kata tenang. Keningnya berkerut, napasnya sedikit lebih cepat, satu tangannya memeluk perutnya yang kini membesar, seolah berusaha melindungi sesuatu bahkan dalam tidur. Selimut yang menutupi tubuhnya sedikit tersingkap, dan Jaehyun bisa melihat kilau keringat di pelipis, leher, hingga garis rahangnya.

“Sayang…” bisik Jaehyun refleks.

Tidak ada jawaban.

Jantung Jaehyun berdegup lebih cepat. Tangannya bergerak tanpa ragu, menempel di kening Taeyong—dan seketika itu juga dadanya mengencang.

Panas.

Terlalu panas.

Jaehyun menelan napas, berusaha menahan gelombang panik yang langsung menyerbu. Kepalanya dipenuhi bayangan terburuk, tapi ia tahu—ini bukan saatnya larut. Taeyong butuh ketenangan. Anak mereka butuh ketenangan.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Tangannya mengusap pipi Taeyong lembut, tapi cukup untuk membangunkannya. “Taeyong… sayang. Bangun sebentar.”

Taeyong bergumam pelan, alisnya semakin mengernyit. “Hm…”

“Kau dengar aku?” Jaehyun mendekatkan wajahnya, suaranya tetap rendah dan terkendali meski dadanya bergetar.

Mata Taeyong terbuka perlahan, buram dan berat. Ia menatap Jaehyun beberapa detik, seperti mencoba mengenali di mana ia berada.
“Hyun…” suaranya serak, hampir tak terdengar. “panas.”

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now