“Kita pulang,” katanya pelan.

Taeyong mengangguk. Ia bersandar lebih nyaman, napasnya terasa lebih ringan.

Sore itu memang tidak sempurna. Tapi di antara kekhawatiran, diam, dan permintaan maaf yang jujur—mereka kembali menemukan keseimbangan.

Dan bagi Taeyong, itu sudah lebih dari cukup.

**

Pagi dimulai seperti beberapa pekan terakhir.

Jaehyun mengantar Taeyong ke rumah sakit sebelum berangkat ke kantornya sendiri. Ia memastikan langkah Taeyong stabil, menunggu hingga jas putih itu rapi di tubuh istrinya, dan baru bergerak pergi setelah Taeyong benar-benar masuk ke ruangannya. Bahkan sebelum berpisah, Jaehyun sempat mengingatkan—dengan nada lembut tapi tegas—agar Taeyong tidak memaksakan diri dan segera berhenti jika tubuhnya memberi sinyal apa pun.

Taeyong hanya tersenyum dan mengangguk, seperti biasa.

Dan seperti biasa pula, Jaehyun pergi dengan rasa tidak sepenuhnya tenang.

Itulah yang terbawa hingga siang hari.

Jaehyun duduk di balik meja kerjanya di lantai atas Jung Group, jas rapi, lengan kemeja tergulung sedikit, tablet dan berkas tersusun teratur di hadapannya. Ia menandatangani dokumen, menghadiri dua panggilan singkat, dan memberi arahan pada timnya tanpa nada yang berubah.

Tenang. Terlalu tenang.

Bagi orang lain, Jaehyun terlihat seperti Jaehyun yang selalu mereka kenal—terkendali, fokus, tak pernah membiarkan urusan pribadi mengganggu pekerjaannya.

Tapi bagi Johnny dan Yuta, ketenangan itu terasa janggal.

Jaehyun membaca laporan yang sama dua kali tanpa sadar. Tatapannya sesekali berhenti di satu titik terlalu lama, jarinya mengetuk meja bukan karena gelisah, tapi karena pikirannya sedang berada di tempat lain—di rumah sakit, di lorong dingin, di bayangan tubuh Taeyong yang hampir terjatuh kemarin.

Saat jam makan siang tiba, Jaehyun tidak bergerak dari kursinya.

Johnny dan Yuta saling pandang dari ambang pintu, lalu masuk begitu saja tanpa mengetuk.

“Kami masuk,” kata Johnny santai, menenteng dua kantong kertas.
“Dan kami tidak menerima penolakan,” tambah Yuta sambil meletakkan makanan di meja kecil dekat jendela.

Jaehyun mendongak. “Kalian kenapa?”

“Karena kau lupa makan,” jawab Johnny datar. “Dan karena wajahmu bilang kau sedang memikirkan sesuatu.”

Jaehyun hendak membantah, tapi urung. Ia menutup tabletnya dan berdiri, berjalan ke arah mereka.

Mereka bertiga duduk mengelilingi meja kecil. Untuk beberapa menit, hanya suara alat makan yang terdengar. Jaehyun makan dengan tenang, tapi Johnny memperhatikannya dari balik gelas minum, sementara Yuta menyandarkan tubuh ke kursi, matanya tak lepas dari sahabat mereka itu.

“Jae,” panggil Yuta akhirnya. “Ada apa?”

Jaehyun menghela napas kecil. Ia meletakkan sumpitnya, lalu bersandar.

“Aku baik-baik saja,” katanya refleks.

Johnny mendengus pelan. “Kau tidak pernah menjawab seperti itu kalau benar-benar baik-baik saja.”

Keheningan menyusul sebentar. Jaehyun menatap keluar jendela—lalu akhirnya menyerah.

“Aku hanya… khawatir,” ujarnya jujur. “Tentang Taeyong.”

Johnny dan Yuta langsung fokus penuh.

“Sejak kehamilannya masuk akhir trimester dua,” lanjut Jaehyun, “kram nya semakin sering datang. Tidak selalu parah, tapi cukup untuk membuatku tidak tenang.”

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now