Jaehyun mengangguk kecil, tapi alisnya masih sedikit berkerut. “Aku tahu, tapi pikiranku tetap lari ke mana-mana.”
Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju.
“Kau sedang mengandung,” lanjut Jaehyun. “Dan aku tidak bisa selalu ada di sisimu setiap detik. Itu yang membuatku marah… pada diriku sendiri.”
Taeyong terdiam. Ia menatap tangan mereka yang saling bertaut, lalu kembali ke wajah Jaehyun.
“Kau sudah melakukan lebih dari cukup,” ucapnya lembut. “Aku sendiri yang masih ingin bekerja. Aku masih ingin menjadi diriku sendiri. Tapi itu tidak berarti aku sendirian.”
Jaehyun menghela napas panjang, seolah baru mengizinkan dirinya sedikit rileks. Ia menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis—senyum yang belum sepenuhnya kembali, tapi jujur.
“Aku hanya ingin kau pulang dengan selamat,” katanya. “Setiap hari.”
Taeyong tersenyum kecil. “Selalu begitu kan? Dan itu karena dirimu.”
Mobil terus melaju membelah jalanan. Keheningan yang tersisa tidak lagi menyesakkan, tapi Taeyong masih merasakan ada satu hal yang belum benar-benar ia ucapkan.
Ia menoleh pelan, menatap profil wajah Jaehyun yang diterangi lampu jalan sesekali. Rahang itu sudah lebih rileks, tapi sorot matanya masih menyimpan sisa pikiran.
“Hyun,” panggil Taeyong hati-hati.
Jaehyun menoleh sekilas. “Hm?”
Taeyong menarik napas pelan sebelum bicara. “Aku tadi… sempat takut.”
“Takut apa?” tanya Jaehyun, nada suaranya langsung berubah lebih perhatian.
“Takut kau marah,” jawab Taeyong jujur. “Bukan karena aku hampir jatuh, tapi karena yang menolongku… Mingyu.”
Jaehyun terdiam sesaat. Tangannya di atas paha Taeyong bergerak kecil, ibu jarinya mengusap tanpa sadar.
“Aku tahu hubungan kalian dulu tidak sederhana,” lanjut Taeyong. “Dan aku takut kau berpikir terlalu jauh. Takut kau merasa… tidak nyaman.”
Jaehyun menghela napas panjang. Kali ini, ia benar-benar menoleh, menatap Taeyong lebih lama.
“Aku tidak marah padamu,” katanya tegas tapi lembut. “Dan aku tidak marah pada Mingyu karena itu.”
Taeyong mengernyit kecil. “Lalu kenapa kau terlihat… seperti tadi?”
“Karena aku manusia,” jawab Jaehyun jujur. “Dan karena aku tahu ada masa lalu yang tidak bisa dihapus begitu saja.”
Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, lebih pelan, “Tapi aku juga tahu sekarang kau memilihku. Setiap harinya, dengan sadar.”
Dada Taeyong terasa menghangat.
“Aku juga minta maaf,” katanya. “Karena diamku membuatmu berpikir aku marah. Aku seharusnya bicara lebih cepat.”
Taeyong menggenggam tangan Jaehyun lebih erat. “Aku mengerti sekarang. Kau hanya terlalu menyayangiku.”
Jaehyun terkekeh pelan. “Mungkin.”
“Mungkin?” Taeyong menoleh.
“Baiklah,” Jaehyun mengaku. “Sangat.”
Tawa kecil Taeyong memenuhi mobil, ringan dan lega. Jaehyun ikut tersenyum, lesung pipinya muncul samar.
Lampu merah kembali menghentikan mobil. Jaehyun mengangkat tangan Taeyong sebentar, mengecup punggungnya singkat—gerakan yang cepat, hampir seperti refleks.
BẠN ĐANG ĐỌC
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 38
Bắt đầu từ đầu
