Sesampainya di parkiran, Jaehyun segera membuka pintu mobil untuk Taeyong dan memastikan sabuk pengaman Taeyong terpasang dengan aman.

“Sudah nyaman?” tanya Jaehyun, menoleh sekilas sebelum menyalakan mesin.

Taeyong mengangguk pelan. “Ya, cukup.”

Mobil melaju perlahan keluar dari area rumah sakit. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang nyaman, hanya diisi alunan musik lembut dari radio. Jaehyun sesekali melirik ke arah Taeyong yang menyandarkan kepala di jendela dengan mata terpejam sebentar, sebelum akhirnya Jaehyun membuka suara.

“Bagaimana harimu hari ini, sayang?” tanyanya lembut, satu tangan tetap di kemudi, sementara tangan lainnya bergerak menggenggam tangan Taeyong yang terletak di atas pahanya.

Taeyong tersenyum kecil, mengeratkan genggaman mereka. “Cukup baik. Masih agak mual, tapi tidak separah beberapa minggu lalu.”

“Syukurlah.” Jaehyun mengangguk pelan. “Dan… si kecil?”

Taeyong mengelus perutnya sebentar dengan satu tangan, lalu berkata pelan, “Tenang sekali hari ini. Mungkin karena pagi tadi sudah disapa ayahnya.”

Jaehyun tertawa pelan, suaranya hangat. “Kalau begitu, aku harus lebih sering menyapanya.”

Taeyong tersenyum lebih lebar, lalu melanjutkan, “Tadi ada pasien kecilku yang menggambar keluarganya di kertas—ayah, ibu, dan dia sendiri. Sederhana sekali, tapi membuatku terpaku sejenak.”

Jaehyun meliriknya dengan pandangan lembut. “Kenapa, hm?”

“Aku jadi membayangkan… sebentar lagi, kita juga akan seperti itu. Ada aku, kau, dan anak kita. Kita akan punya keluarga kecil kita sendiri, Hyun.” Suara Taeyong melembut, seolah sedang membisikkan harapan paling dalam.

Mobil kembali sunyi untuk beberapa saat, namun bukan karena canggung. Diam itu terasa hangat, seperti ruang yang membungkus semua impian dan kebahagiaan yang belum lama ini baru mulai terbentuk di antara mereka.

“Aku juga tidak sabar,” Jaehyun akhirnya berkata pelan. “Kau tahu, setiap kali melihatmu memegang perutmu seperti itu, rasanya seperti mimpi yang pelan-pelan jadi nyata.”

Taeyong tersenyum, menoleh dan meremas jemari Jaehyun. “Terima kasih sudah selalu ada.”

“Aku memang di sini untuk itu,” jawab Jaehyun, lembut dan tulus.

**

Taeyong sudah berbaring di ranjang sejak beberapa puluh menit lalu, tubuhnya menyamping dengan bantal panjang memeluk perutnya. Sementara Jaehyun duduk di sebelahnya, bersandar pada kepala ranjang, laptop di pangkuannya menampilkan lembar laporan yang masih harus ia koreksi sebelum esok pagi.

Bunyi ketikan pelan sesekali terdengar, berpadu dengan suara pendingin ruangan dan napas tenang Taeyong yang mulai melambat.

Taeyong tidak tidur. Matanya justru menatap Jaehyun diam-diam dari posisi tidurnya. Menyisir garis rahang Jaehyun yang tegas, cara pria itu menggigit pelan bibir bawahnya saat berpikir, hingga kerutan samar di kening yang selalu muncul saat sedang fokus. Semua itu begitu akrab, tapi tetap saja bisa membuat jantung Taeyong berdebar pelan.

Ia sedang membatin sesuatu ketika tiba-tiba tubuhnya tersentak ringan. Bukan karena kaget, tapi karena sesuatu dari dalam perutnya menghentak dengan lebih jelas. Lebih kuat dari biasanya.

Taeyong terdiam. Matanya membulat kecil.

Tendangan itu datang lagi. Sekilas. Tegas. Nyata.

Ia menatap perutnya sesaat, lalu kembali menatap Jaehyun yang masih belum menyadari apa pun. Dengan suara pelan, nyaris berbisik, Taeyong memanggilnya.

“Jaehyun…”

Suara itu membuat Jaehyun segera menoleh. “Hm? Kenapa? Kau butuh sesuatu?”

Taeyong menggeleng kecil, lalu mengangkat satu tangan Jaehyun dan membimbingnya perlahan ke atas perutnya yang mulai menegang.

“Tunggu sebentar di sini,” katanya lembut.

Dan seolah bayi di dalam sana bisa mendengar dan mengerti, tendangan itu datang lagi, tepat di bawah telapak tangan Jaehyun.

Wajah Jaehyun berubah. Jemarinya tak bergeser sedikit pun, tubuhnya membeku, dan matanya menatap ke arah perut itu dengan takjub. Bukan lagi samar seperti cerita Taeyong minggu lalu, kali ini ia benar-benar merasakan.

“Sayang…” bisik Jaehyun, matanya perlahan membulat, “Aku merasakannya. Anak kita…”

Suaranya bergetar sedikit, menahan emosi yang tiba-tiba menggenang begitu saja. Tangannya tetap di sana, seolah tak ingin kehilangan momen itu. Lalu matanya terarah pada Taeyong, yang kini tersenyum lebar sambil mengangguk pelan, bibirnya pun bergetar menahan haru.

“Dia akhirnya menyapa Ayahnya,” ujar Taeyong lirih.

Jaehyun menunduk, mengecup pelan perut Taeyong sebelum bergeser memeluk tubuh istrinya dari samping, menariknya ke dalam dekapannya.

“Terima kasih… karena sudah membawa dia ke dunia kita,” ucap Jaehyun pelan di dekat telinga Taeyong.

Malam itu, tanpa banyak kata, mereka hanya saling diam dalam pelukan, dengan tangan Jaehyun yang masih bertahan di atas perut Taeyong—menunggu, berharap, dan bersyukur untuk setiap detak kehidupan yang kini tumbuh di antara mereka.

***

***

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Between The Lines (JAEYONG)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora