Mereka saling menatap. Ada keheningan sebentar yang terasa begitu utuh.

“Aku mencintai kalian,” kata Jaehyun dengan suara yang nyaris seperti bisikan, namun sangat jelas.

Taeyong menatap balik, matanya berbinar. Bibirnya membentuk senyum yang tak dibuat-buat, lalu ia menjawab pelan, “Kami juga mencintaimu, Ayah.”

Mereka tertawa kecil bersama, ringan dan tenang, seolah hanya mereka berdua yang ada di tempat itu.

Setelahnya, Jaehyun melangkah mundur satu langkah, memberi satu tatapan terakhir sebelum ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Taeyong yang masih berdiri di sana dengan tangan menyentuh perutnya sendiri, senyum tak juga pergi dari wajahnya.

Saat punggung Jaehyun sudah tak terlihat, barulah Taeyong  masuk ke dalam ruangannya dan kembali menjalani rutinitasnya seperti biasa. Sejumlah pasien anak sudah menunggu, dan seperti biasa, ia menerima mereka dengan senyuman hangat yang tak pernah absen meski tubuhnya sedang tidak dalam kondisi paling prima.

Meski sesekali rasa mual datang menyergap, Taeyong tetap bertahan. Ia telah terbiasa menenangkan diri sambil sesekali menepuk-nepuk perutnya yang perlahan mulai membuncit, seolah berkomunikasi secara diam-diam dengan si kecil di dalam sana. Ia tidak mengeluh. Justru, kehadiran kehidupan kecil itu menjadi sumber kekuatan barunya. Dan setiap kali pasien kecil datang dengan cerita lucu atau gambar-gambar polos yang menggambarkan dunia dari mata anak-anak, hatinya selalu hangat—dipenuhi harapan tentang hari-hari mendatang.

Dua sahabatnya, Ten dan Doyoung, beberapa kali menyempatkan mampir di tengah kesibukan mereka hanya untuk sekadar memeriksa keadaannya. Terkadang menyodorkan camilan sehat, terkadang hanya memastikan bahwa ia sudah cukup istirahat di sela-sela jadwal.

Waktu berlalu pelan tapi pasti. Saat langit mulai berganti warna, dan jam dinding di ruangannya mendekati pukul lima sore, Taeyong mulai membereskan beberapa dokumen dan merapikan meja praktiknya. Hari kerja yang panjang itu akhirnya mencapai penghujung. Tapi yang membuatnya tersenyum diam-diam bukan hanya karena pekerjaannya selesai, melainkan karena ia tahu seseorang yang selalu ia nantikan sebentar lagi akan datang menjemputnya—seperti kebiasaan manis yang tak pernah terlewatkan belakangan ini.

Dan benar saja, beberapa menit kemudian pintu ruangannya diketuk ringan, lalu terbuka sebelum Taeyong sempat bersuara. Sosok Jaehyun muncul di ambang pintu, masih mengenakan setelan kerja, tetapi dasinya sudah dilonggarkan sedikit. Senyum hangat langsung mengembang di wajah pria itu, menampilkan lesung pipi di kedua sisi yang tak pernah gagal membuat hati Taeyong sedikit lebih tenang, bahkan di akhir hari paling melelahkan sekalipun.

“Hari ini selesai lebih cepat, hm?” ucap Jaehyun, suara rendahnya seolah selalu berhasil menenangkan.

Taeyong mengangguk kecil, membalas senyum itu. “Iya, beberapa pasien batal datang. Aku sempat tidur sebentar di ruang istirahat.”

Jaehyun mengulurkan tangan untuk merapikan sedikit helaian rambut di pelipis Taeyong yang terlepas dari tatanan. Lalu, tanpa bicara lebih lanjut, ia mencondongkan tubuh dan mengecup lembut kening Taeyong. Tangannya yang lain terulur perlahan ke arah perut Taeyong, mengusapnya lembut, seolah sedang menyapa kehidupan kecil yang tumbuh di sana.

“Ayah sudah datang,” bisiknya pelan, penuh afeksi. “Ayo kita pulang.”

Taeyong menunduk sedikit, tersenyum kecil—wajahnya tenang, nyaris malu-malu.

Mereka berjalan berdampingan keluar dari ruang dokter, melewati lorong rumah sakit yang mulai sunyi. Langkah Jaehyun selalu sedikit lebih lambat, seolah memberi ruang bagi Taeyong untuk bergerak nyaman di sampingnya. Sesekali tangan mereka bersentuhan, dan walau tidak saling menggenggam, kehadiran satu sama lain terasa cukup.

Between The Lines (JAEYONG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang