“Aku memang bangga.”

Ten hanya mengangguk dengan senyum kecil, lalu berdiri dari kursinya sambil berkata, “Kau harus siap, Jaehyun. Biasanya trimester kedua adalah saat hormon Taeyong mulai naik-turun tak terduga. Bisa lebih sensitif, bisa makin manja, bisa juga ngidam lebih aneh dari tengah malam kemarin.”

“Aku tidak aneh,” sahut Taeyong cepat.

“Kau ngidam odeng jam dua pagi, sayang.” Jaehyun menimpali sambil tertawa kecil. “Itu sangat spesifik dan mendadak.”

“Tapi kau tetap pergi mencarikannya.”

“Karena aku tidak tahan melihat wajahmu yang memelas waktu itu.”

Ten tertawa geli melihat pasangan itu. Ada kehangatan yang sulit didefinisikan, dan ia merasa beruntung bisa menjadi bagian kecil dari perjalanan besar ini.

“Baiklah,” Ten akhirnya berkata, “Jangan lupa minum susunya, makan cukup, tidur cukup, dan kalau bisa… jangan terlalu sering membuat Jaehyun kelabakan tengah malam.”

“Aku tidak janji,” kata Taeyong sambil tersenyum nakal.

Setelah keluar dari ruang pemeriksaan kandungan tempat Ten bertugas, Jaehyun berjalan mendampingi Taeyong menuju lantai tempat ruang kerja Taeyong berada. Langkah mereka pelan dan santai—tidak tergesa, seolah menikmati waktu singkat sebelum kembali ke rutinitas masing-masing.

Di tangan kiri Jaehyun, ia masih membawa tas makan berisi bekal makan siang buatannya untuk sang istri dari pagi tadi. Tangan kanannya sesekali terulur untuk menjaga punggung Taeyong saat mereka melewati tangga pendek di ujung lorong. Sejak kehamilan memasuki bulan keempat, Jaehyun jadi jauh lebih perhatian pada setiap gerakan Taeyong—meski yang bersangkutan kerap mengeluh kalau dirinya baik-baik saja.

“Kalau mulai pegal, langsung duduk, ya?” ucap Jaehyun sambil melirik ke arah istrinya.

Taeyong hanya mengangguk kecil, senyumnya terkembang lembut. “Aku baik-baik saja, Hyun. Tapi terima kasih,” balasnya pelan, disertai lirikan geli.

Begitu sampai di depan ruangan Taeyong, keduanya berhenti. Jaehyun menatap sang istri yang kini berdiri di depannya dengan jas putih khas dokter, tapi sedikit lebih longgar di bagian perut. Ia bisa melihat sedikit perubahan bentuk tubuh Taeyong, perutnya mulai membuncit—masih samar, tapi cukup untuk membuat Jaehyun semakin sadar bahwa ada kehidupan kecil yang tumbuh di sana.

“Aku tahu mungkin kau bosan mendengarnya, tapi jika nanti mulai terasa lelah, jangan memaksakan diri ya?” ujar Jaehyun pelan, menatap mata Taeyong penuh perhatian.

Taeyong mengangguk dengan senyum kecil. “Iya, Hyun. Lagipula, pasienku hari ini tidak terlalu banyak. Kalau aku mulai merasa tidak enak badan, aku bisa istirahat sebentar.”

Jaehyun tidak langsung menjawab. Ia menunduk sedikit, lalu tanpa berkata apa-apa, berjongkok perlahan di depan Taeyong. Tangannya menyentuh perut sang istri dengan hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang paling rapuh dan berharga.

Lalu ia mendekatkan wajahnya, mengecup perut Taeyong yang masih tertutup jas dokter, dan berbisik pelan, “Hari ini jangan nakal ya, Nak? Jangan menyulitkan Bubu-mu. Ayah jemput kalian sore nanti.”

Taeyong hanya bisa menunduk, tersenyum kecil sambil menyentuh rambut Jaehyun dengan lembut. Hatinya menghangat oleh cara suaminya memperlakukan mereka berdua—ia dan calon anak mereka—dengan begitu banyak kasih.

Setelah beberapa saat, Jaehyun berdiri kembali dan menatap Taeyong dengan lembut. Ia menyentuh pipi Taeyong sesaat, lalu membungkuk sedikit untuk mencium keningnya dengan penuh kehangatan.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now