Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Dengan kemeja putih yang digulung hingga siku, ponsel di tangan dan ekspresi tenang yang terlalu cepat terbaca bagi seseorang yang sudah mengenalnya cukup lama. Ia terdiam sejenak. Pandangannya bergeser dari wajah Taeyong, ke wajah Mingyu lalu kembali lagi ke Taeyong.
Tidak ada ekspresi yang benar-benar tampak di wajahnya. Tapi dari cara ia berhenti sejenak, dari gerakan kecil di rahangnya yang mengencang dan mengendur, Taeyong tahu… Jaehyun sedang menahan sesuatu.
Taeyong sempat menunduk. Refleks. Entah karena terkejut atau karena dadanya kembali menegang oleh sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ia beri nama.
Jaehyun juga sempat berhenti. Hanya sekejap. Lalu melanjutkan langkahnya, pelan dan mantap, seperti seseorang yang telah memutuskan untuk tidak mundur bahkan ketika hatinya digiring pada kenangan yang tidak menyenangkan.
Langkah Jaehyun mendekat dan dalam diam, ketiganya kembali berdiri di lorong yang sunyi itu seperti babak kedua dari pertemuan pertama mereka di gala, di waktu yang tidak direncanakan dengan jarak yang seolah menyimpan begitu banyak cerita, namun kali ini tanpa sorotan lampu dan formalitas.
Hanya mereka. Dan waktu yang seolah memilih hari ini untuk menyelesaikan sesuatu yang tertunda.
Jaehyun membuka suara lebih dulu. Suaranya datar, tidak bermusuhan, tapi juga tidak menunjukkan keakraban.
“Mingyu-ssi.”
Mingyu mengangguk pelan.
Taeyong tetap diam di samping mereka. Sorot matanya terarah ke lantai, tapi telinganya menangkap segalanya.
“Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini.” Ucap Jaehyun kemudian.
“Aku juga tidak berencana bertemu,” jawab Mingyu, jujur. “Tapi aku rasa pertemuan ini perlu.”
Keheningan kembali menyelinap. Tapi kali ini tidak berlangsung lama. Mingyu menarik napas pelan, lalu menepuk bahu Jaehyun dengan gerakan ringan namun bermakna.
“Aku hanya bicara dengan Taeyong. Kami menyelesaikan apa yang memang perlu diselesaikan. Aku tahu… dia bukan untukku. Dan aku menerima itu.” Katanya, tenang.
Jaehyun menatapnya. Tidak menantang. Tidak juga menghindar. Ia hanya melihat, seolah ingin memastikan bahwa kata-kata itu benar-benar datang dari hati yang sudah tenang.
“Dia milikmu,” lanjut Mingyu. “Bukan karena kalian bersama lebih lama. Bukan karena kau yang lebih dulu mencintai. Tapi karena kau adalah satu-satunya orang yang bisa menjaganya dengan cara yang bahkan tidak bisa aku lakukan.”
Jaehyun tidak langsung membalas. Ia memandang Taeyong sejenak yang masih berdiri di sampingnya, diam dan canggung, tapi tetap memilih untuk tidak pergi.
Lalu Jaehyun menatap kembali Mingyu. “Aku tidak akan menyangkal, pernah merasa tidak nyaman karena kehadiranmu.”
“Dan aku pun tidak akan menyangkal, pernah berharap dia akan memilihku.” Jawab Mingyu, tak kalah jujur.
“Tapi aku tahu… cinta yang dipaksakan tidak akan membawa siapa pun ke tempat yang seharusnya. Dan dari semua hal yang sudah aku lihat… dia paling tenang ketika bersamamu.”
Jaehyun mengangguk pelan, “Terima kasih. Untuk pernah menyayanginya. Dan untuk pernah menjaganya, di saat aku tidak bisa.”
Mingyu tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. “Jaga dia baik-baik, Jaehyun. Aku tahu kau akan. Tapi tetap saja, izinkan aku mengatakan itu.”
“Selalu.” Jawab Jaehyun, mantap. “Aku akan menjaganya. Dengan caraku. Dengan seluruh hatiku.”
Taeyong masih belum berkata apa-apa, tapi dadanya terasa hangat. Bukan karena lega, tapi karena dihargai oleh dua orang yang sama-sama pernah atau masih, mencintainya. Dan meski ada perasaan asing yang sempat membuatnya resah, hari ini semuanya menemukan kejelasan.
Mingyu melangkah mundur satu langkah, “Kupikir, ini saatnya benar-benar pamit.”
Ia menoleh pada Taeyong sebentar. “Ku harap kau bahagia, Taeyong.”
Taeyong tidak menjawab hanya mengangguk pelan.
Mingyu pergi lebih dulu, menyusuri lorong dan menghilang di balik pintu lift. Hanya satu suara kecil dari sepatu kerjanya yang bergema, lalu benar-benar hilang.
Taeyong masih belum membuka suara sedikit pun. Ia hanya berdiri di samping Jaehyun, menatap punggung Mingyu yang perlahan menghilang di ujung koridor.
Tapi hatinya… terasa hangat.
Karena untuk pertama kalinya, semuanya terasa jelas. Tidak ada yang menggantung. Tidak ada yang terperangkap di antara kemungkinan.
Dan diam-diam, ia berharap, di suatu tempat yang lain, Mingyu akan menemukan seseorang yang membuatnya merasa pulang. Seseorang yang bisa menjadi rumah yang baru.
Seseorang… yang bisa mencintainya tanpa setengah-setengah, seperti ia dulu sempat mencoba mencintai Taeyong.
Jaehyun akhirnya menoleh ke Taeyong. “Kau tidak mengatakan apa-apa.”
“Aku tidak perlu, kau sudah mengatakan semuanya.” Jawab Taeyong pelan.
Jaehyun menatap Taeyong lama lalu menggenggam jemari Taeyong dengan satu tangan.
“Kalau begitu, ayo pulang.”
Senyum kecil muncul di wajah Taeyong. Ia tidak menjawab tapi langkahnya mulai menyamai Jaehyun yang kini berjalan di sisinya.
Dan entah bagaimana… meski hari itu seperti hari-hari lain di rumah sakit, panjang, penuh tekanan dan melelahkan, langit di luar jendela tampak lebih lapang.
Karena apa pun yang pernah hampir terjadi, hari ini mereka bisa melangkah lebih ringan. Tanpa bayang-bayang, tanpa tanya yang belum terjawab.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.