Mingyu mengangkat kepalanya perlahan, menatap Taeyong dengan sungguh-sungguh.

“Aku marah, iya. Tapi bukan karena kau tidak bekerja dengan baik. Kau selalu bekerja dengan baik. Aku marah karena saat itu aku tidak bisa menerima jarak yang kau buat, karena aku merasa kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah benar-benar kumiliki. Dan aku menyalurkan itu dengan cara yang salah.”

Ia menarik napas, jemarinya bertaut di atas lutut. “Aku minta maaf, Taeyong. Untuk semua kata-kata yang tidak seharusnya. Untuk membuatmu merasa bersalah, padahal… aku hanya sedang melampiaskan kekesalanku sendiri.”

Taeyong butuh beberapa detik sebelum akhirnya menjawab. Suaranya tidak keras, tapi mengandung ketenangan yang hanya dimiliki oleh seseorang yang telah melalui malam-malam panjang dalam diam.

“Aku mengerti.” Jawabnya pelan.

“Aku juga minta maaf… kalau caraku menjaga jarak terasa menyakitkan.” Ia menatap tangannya sendiri, lalu melanjutkan. “Aku hanya tidak ingin memberi harapan yang tidak bisa kutepati. Dan mungkin, aku juga belum cukup berani untuk menghadapi semuanya dengan baik waktu itu.”

Mingyu akhirnya menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu. Tidak ada air mata, tidak ada kemarahan. Hanya kejujuran yang lahir setelah luka yang cukup panjang.

“Aku melihatmu… waktu itu, di ruang diskusi. Bersama Jaehyun,” suaranya mengecil tapi stabil. “Itu bukan sesuatu yang ingin kulihat, tapi saat aku melihatnya, aku sadar. Hatimu tidak pernah benar-benar ku dalami. Dan itu bukan salah siapa-siapa.”

“Selama ini aku selalu merasa… aku bisa jadi tempatmu pulang kalau kau mau. Tapi ternyata, bukan aku tempat itu. Dan sekarang aku bisa menerima, karena aku tahu dia bisa menjagamu lebih baik dari siapapun, bahkan dariku.”

Taeyong tersenyum kecil. “Dia selalu menjagaku, bahkan saat aku tidak sadar aku sedang butuh dijaga.”

Hening kembali mengisi ruang itu. Tapi kali ini bukan karena ada yang ditahan melainkan karena keduanya tahu, tak banyak lagi yang perlu dikatakan.

“Taeyong, aku hanya ingin kau tahu, bahwa aku tidak menyesal pernah dekat denganmu. Tapi aku juga tidak akan menyimpan harap lagi. Aku harap kita bisa tetap menjadi rekan kerja yang saling menghargai.” Lanjut Mingyu.

Taeyong mengangguk. Kali ini, lebih yakin.

“Terima kasih, Mingyu. Karena sudah bicara jujur. Untuk semuanya... aku harap kau juga bisa menemukan tempatmu sendiri, tempat yang bisa membuatmu pulang tanpa harus menunggu siapa pun.”

Senyum tipis merekah di wajah Mingyu. “Semoga.”

Mereka sama-sama tertawa kecil, hanya sekejap tapi cukup untuk meluruhkan sisa tegang yang masih menggantung.

Dan mungkin di ruangan yang sepi itu, dua hati yang sempat saling menyapa akhirnya benar-benar menemukan ujungnya—bukan dengan dendam atau penyesalan, tapi dengan kejelasan dan penerimaan yang tenang.

Sebelum mereka pergi, Mingyu berdiri lebih dulu, “Aku masih harus ke ruang radiologi.”

“Aku juga harus kembali ke ruangan ku.” Jawab Taeyong dan kali ini, ia benar-benar tersenyum.

Mereka melangkah keluar dari ruang istirahat staf bersamaan, tidak saling berbicara tapi juga tidak merasa perlu bicara lebih banyak. Keheningan itu bukan lagi tentang canggung atau kebingungan, melainkan semacam kesepakatan batin bahwa percakapan tadi telah selesai dengan baik.

Namun begitu mereka melewati ambang pintu dan menapaki lantai koridor rumah sakit, langkah keduanya terhenti bersamaan.

Jaehyun berdiri di sana.

Between The Lines (JAEYONG)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora