Gadis kecil itu memandangnya ragu, lalu mengangguk pelan. Ibu sang anak terlihat lelah, tapi senyumnya lega saat melihat cara Taeyong berbicara—penuh kesabaran dan hangat, seperti seseorang yang memang ditakdirkan untuk menyembuhkan dengan kelembutan.

Hari terus berjalan. Satu pasien ke pasien berikutnya. Konsultasi, pengisian rekam medis, lalu diskusi singkat dengan perawat kepala soal jadwal kunjungan dan observasi. Meskipun langkah-langkah di rumah sakit selalu bergerak cepat, waktu terasa berjalan lebih tenang bagi Taeyong hari itu.

Ia baru saja keluar dari ruang rawat anak-anak dengan rekam medis di tangan, bersiap menuju ruang perawat untuk menyerahkan laporan. Pikirannya masih tertinggal pada senyum lemah salah satu pasien kecil yang baru ia periksa—senyum yang membuat dada terasa hangat meski tubuh mulai lelah.

Langkahnya menyusuri lorong utama. Rumah sakit di jam-jam ini sedikit lengang. Hanya suara pintu otomatis dan derit troli obat yang sesekali mengisi kesunyian.

Dan mungkin kalau ia berjalan sedikit lebih cepat, mereka tidak akan berpapasan.

Tapi takdir seolah tahu caranya bekerja.

Di tikungan lorong menuju lift staf, seseorang muncul dari arah berlawanan. Jas putih panjang, clipboard di tangan, rambut yang sedikit berantakan.

Sudah beberapa hari terakhir mereka nyaris tidak bersinggungan. Jadwal poli dan pembagian tim mendadak terasa berpihak pada jarak yang barangkali dibutuhkan keduanya. Bukan karena permusuhan, hanya karena waktu yang sedang mengatur ulang cara mereka bertemu.

Awalnya, Taeyong hanya ingin lewat dan menyapa sebentar. Tidak lebih. Ia hanya memiringkan tubuh untuk memberi jalan, siap menyapa singkat dan berlalu.

“Dokter Mingyu…”

Itu hanya gumaman, lebih ke sopan santun yang sempat diajarkan sejak hari pertama sebagai dokter, selalu menyapa rekan kerja, siapa pun itu.

Namun langkahnya terhenti.

“Taeyong.” Suara itu memanggil. Kali ini lebih pelan, tapi jelas. Ada keraguan di dalamnya, bukan karena takut tapi karena tahu ada luka yang belum selesai.

Taeyong berbalik pelan. Tidak menjawab langsung, hanya menatap diam, menunggu.

“Ada waktu sebentar?” tanya Mingyu, tidak memaksa tapi cukup serius hingga Taeyong tak tega untuk mengabaikan.

Taeyong diam sejenak. Ia tahu dan bisa merasakannya bahwa ini bukan permintaan basa-basi. Bukan pula ajakan untuk membicarakan pekerjaan.

Lalu akhirnya, Taeyong mengangguk pelan.

Mereka tidak bicara sepanjang jalan menuju ruang istirahat staf tidak jauh dari ruangan Taeyong, ruangan kecil dengan mesin kopi di sudut dan dua sofa yang saling membelakangi jendela. Di jam-jam ini, ruangan itu hampir selalu kosong.

Taeyong duduk lebih dulu. Meletakkan rekam medis di sampingnya. Sementara Mingyu menarik kursi dan duduk berseberangan, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuannya.

Suara AC terdengar lembut. Tapi di antara mereka, udara terasa agak berat.

“Aku tahu ini sudah agak terlambat,” Ucap Mingyu akhirnya. “Terlambat untuk banyak hal. Termasuk untuk mengerti bahwa aku tidak bisa memaksa tempatku di hidupmu.”

Taeyong menoleh pelan. Ada sesuatu di suara itu yang terdengar lebih rapuh dibanding biasanya.

“Waktu itu… aku mengatakan hal-hal yang seharusnya tidak aku katakan. Tentang profesionalitasmu. Tentang sikapmu di ruang kerja. Aku tahu itu bukan hanya tidak pantas, tapi juga tidak adil.”

Between The Lines (JAEYONG)Место, где живут истории. Откройте их для себя