Taeyong mengangkat wajahnya perlahan. Tidak ada keterkejutan dalam sorot matanya, hanya keheningan... dan sesuatu yang jauh lebih lembut.

“Awalnya aku pikir itu akan hilang,” kata Jaehyun pelan. “Aku pikir… kalau aku cukup kuat untuk menyimpannya sendiri, semuanya akan tetap baik-baik saja. Aku tidak ingin kehilangan apa yang kita punya. Persahabatan. Kedekatan. Segalanya.”

“Dan sekarang?” bisik Taeyong, nyaris tak terdengar.

Jaehyun menghela napas sekali lagi. “Sekarang, aku tidak yakin masih bisa menyebut semua ini sebagai peran. Karena aku benar-benar ingin jadi suamimu, dengan segala artinya. Bukan hanya di hadapan orang tua kita. Bukan hanya saat kita harus memegang tangan satu sama lain di depan orang lain karena status kita. Tapi juga saat kau menangis di pelukanku, saat kau tertawa, saat kau marah, saat kau ingin menyerah…”

Ia menahan napas, lalu berkata pelan, “Aku ingin mencintaimu. Bukan hanya dalam diam, tapi sepenuhnya.”

Sunyi.

Sampai akhirnya, perlahan, Taeyong menggeser duduknya. Membiarkan tubuh mereka semakin dekat. Tidak ada air mata di matanya tapi binar lembut yang begitu tulus menggantung di sana. Kepalanya bersandar di bahu Jaehyun tapi kini matanya menatap jauh ke depan, seolah mencari sesuatu yang dulu pernah hilang di antara tahun-tahun yang mereka lewati bersama.

Lalu dengan suara rendah yang nyaris menyatu dengan malam, ia berkata pelan, “Aku sering bertanya hal yang sama… pada diriku sendiri.”

Jaehyun hanya diam, membiarkan Taeyong bicara, tanpa desakan, tanpa memotong.

“Aku tidak tahu pasti… sejak kapan aku mulai sadar. Tapi aku ingat ada momen-momen kecil yang terus datang di kepalaku. Seperti saat kita masih di tahun pertama kuliah dan kau datang menjemputku di tengah hujan hanya karena aku bilang suaraku serak. Atau saat aku terlalu lelah setelah jaga malam dan kau diam-diam mengantar makanan ke ruang dokter tanpa bilang apa-apa lalu pergi begitu saja.”

Ia menelan ludah perlahan, “Aku juga terlalu takut waktu itu. Takut kalau semua ini hanya akan jadi luka kalau kita mengakuinya.”

Hening sesaat.

“Tapi sekarang… setelah semuanya kita lewati, kebohongan, pura-pura, ketakutan, kehilangan…” Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan.
“Aku tidak yakin yang kita jalani selama ini benar-benar bisa disebut sebagai sandiwara. Karena saat kau memelukku waktu Jieun pergi, saat kau datang tanpa aku minta, saat kau menatapku seperti aku satu-satunya orang yang berharga di dunia… semuanya terasa nyata.”

Ia akhirnya menegakkan kepalanya, menatap Jaehyun langsung. “Dan malam ini, saat aku menanyakan itu padamu, bukan karena aku meragukanmu… tapi karena aku ingin mendengar. Dengan benar, dari bibirmu.”

Jaehyun masih terdiam. Matanya memerah, namun senyumnya muncul perlahan, penuh ketulusan.

Lalu Taeyong melanjutkan, kali ini dengan nada yang sedikit lebih ringan, namun tidak kalah jujur. “Aku tidak tahu pasti kapan aku mulai menyadarinya. Tapi mungkin… aku juga sudah jatuh padamu jauh sebelum aku berani menyebutnya sebagai cinta.”

Kalimat itu menggantung di udara seperti pelukan hangat di antara mereka.

Taeyong belum mengalihkan pandangannya dan Jaehyun masih menatap balik dirinya dalam diam. Tapi diam itu bukan karena ragu, melainkan karena terlalu banyak rasa yang mendesak naik ke dada dan belum sempat terucap.

Cahaya dari lampu taman di halaman bawah menerangi sisi wajah Jaehyun cukup untuk memperlihatkan satu titik bening yang akhirnya jatuh dari sudut matanya.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now