Sampai akhirnya, Taeyong menoleh dan berkata pelan. “Mau naik ke atas?”

Jaehyun mengangkat alis. “Atas…?”

“Atap. Aku ingin duduk sebentar.” Ucapnya, sambil melipat kain lap kecil di tangannya dan menaruhnya di meja.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Jaehyun mengikuti. Mereka menaiki tangga sempit menuju pintu kecil yang mengarah ke rooftop rumah, sebuah ruang terbuka yang jarang mereka datangi sejak tinggal di sini. Bukan karena tidak nyaman, tapi karena waktu sering kali tidak memberi ruang untuk sekadar diam dan menatap langit.

Begitu pintu terbuka, udara malam langsung menyambut, lembut dan sedikit dingin. Taeyong berjalan lebih dulu, menelusuri jalur kayu yang membentang kecil di tengah rooftop hingga ia berhenti di dekat pembatas tembok, lalu duduk.

Jaehyun menyusul dan duduk di sampingnya. Tanpa berkata-kata, mereka memandangi langit malam yang jernih, bertabur bintang. Jarang sekali langit Seoul memberikan malam setenang ini.

Suasana terasa ringan tapi bukan berarti kosong. Justru sebaliknya, terlalu banyak yang terasa, hingga tak satu pun mendesak untuk diucap.

Taeyong memainkan jemarinya di atas pahanya. “Aku baru sadar… kita belum pernah benar-benar duduk santai begini di sini, ya?”

Jaehyun tersenyum tipis. “Kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang bahkan tidak bisa kita kendalikan.”

“Hm.” Taeyong mengangguk pelan. “Lucu ya… rumah ini kita beli untuk pura-pura jadi pasangan suami istri. Tapi justru di sini aku mulai merasa…”

Ia tak melanjutkan.

Tapi Jaehyun tidak memaksanya. Ia hanya mengarahkan pandangan ke arah Taeyong, memperhatikan siluet wajahnya yang diterangi samar cahaya dari lampu taman di ujung rooftop.

“Kau tahu, kalau dulu aku bisa memilih tempat mana pun untuk tinggal, aku tetap akan memilih rumah ini. Asal kau ada di dalamnya.”

Taeyong menoleh perlahan. Matanya menangkap sorot yang tidak berubah, hangat tapi juga menyimpan banyak hal yang belum pernah sepenuhnya dibicarakan.

Dan dari sana, dalam jeda sunyi yang mengambang di antara mereka, Taeyong akhirnya bertanya. Pelan, tapi jelas.

“Sejak kapan sebenarnya… kau menyukaiku?”

Pertanyaan itu meluncur ringan dari bibir Taeyong tapi bunyinya seperti hentakan dalam diam. Jaehyun menoleh sepenuhnya kini, menatap Taeyong tanpa menyembunyikan apa pun di balik sorot matanya.

Sesaat, tidak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya suara angin yang menyapu perlahan permukaan rooftop dan detak jantung Jaehyun yang terasa semakin nyata di telinganya sendiri.

Jaehyun menarik napas, “Sebenarnya… Aku sendiri juga sempat berpikir, kapan tepatnya semuanya berubah.”

Ia memutar wajah, kembali memandangi langit malam. Tatapannya kosong, tapi penuh ingatan.

“Mungkin waktu kita masih di SMA, saat kau mulai tinggal di rumahku. Atau mungkin di masa kuliah, saat kau pertama kali jatuh sakit karena kelelahan dan aku panik seperti orang bodoh karena kau tidak mau ke rumah sakit.”

Taeyong menunduk sedikit, mendengarkan tanpa memotong.

“Lalu ada hari-hari biasa. Sangat biasa,” lanjut Jaehyun, “seperti saat kau tertidur di sofa dengan buku catatanmu terbuka atau saat kau menggoda Ten dan tertawa begitu keras sampai aku ikut tertawa hanya karena melihatmu bahagia.”

Ia menoleh kembali dan kali ini suaranya turun satu oktaf, hampir seperti bisikan yang dijaga untuk tidak pecah.

“Dan pada titik tertentu aku sadar… aku jatuh cinta.”

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now