Hingga ketukan cepat terdengar di pintu ruangan dan tanpa menunggu izin masuk, Mingyu melangkah masuk sambil membawa tablet elektronik di tangannya. Wajahnya terlihat sedikit kusut, ada tekanan yang jelas terpahat dari raut matanya yang biasanya lembut.

“Aku perlu bicara soal pasien ruang 412.” Katanya, tanpa basa-basi.

Taeyong langsung berdiri dan mengangguk, mengikuti langkah Mingyu keluar ruangan menuju salah satu ruang kecil diskusi di ujung lorong. Tapi baru beberapa menit mereka berdiskusi, nada suara Mingyu berubah.

“Aku sudah bilang dari kemarin, kondisi pasien ini tidak bisa dibiarkan menunggu lebih lama. Kita butuh persetujuan dari keluarga untuk tindakan lanjutan tapi sampai sekarang belum ada follow up darimu.”

Taeyong sempat terdiam, keningnya berkerut. “Aku sudah menghubungi wali pasien kemarin malam, mereka butuh waktu untuk berdiskusi dengan keluarga besar. Kau tahu itu tidak mudah untuk mereka.”

Mingyu menghela napas, nada suaranya mulai meninggi, bukan marah tapi letih. “Kau selalu punya alasan akhir-akhir ini, Taeyong. Selalu. Kau tidak seperti biasanya.”

Taeyong mengangkat wajahnya pelan, menatap rekan sejawatnya itu. “Apa maksudmu?”

“Kau tahu maksudku,” Mingyu menatapnya balik, kali ini tanpa senyum dan tanpa filter. “Sejak hari itu, kau berubah. Kau menarik diri dan itu bukan hanya soal kita. Kau jadi pasif di banyak kasus. Aku tahu kau mencoba menjaga jarak tapi ini mulai mengganggu pekerjaan kita.”

Hening mendadak menggantung di antara mereka. Kata-kata Mingyu menusuk, bukan karena tidak benar tapi karena sebagian dari itu adalah cermin yang tidak ingin Taeyong tatap terlalu lama.

“Aku minta maaf kalau kau merasa begitu,” Ucap Taeyong akhirnya, pelan. “Tapi ini… ini bukan hal yang mudah untukku. Aku sedang mencoba menyusun ulang semuanya. Aku tidak bermaksud mencampur perasaan dengan pekerjaan.”

Mingyu tertawa kecil, getir. “Tapi pada akhirnya tetap bercampur, bukan?”

Taeyong tidak menjawab. Karena memang benar. Tidak ada dinding kedap perasaan antara hati dan ruang kerja dan Mingyu tahu itu.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Mingyu menghela napas panjang dan berkata, sedikit lebih tenang. “Maaf. Aku sedang tidak dalam kondisi terbaik. Tekanan pekerjaan dan mungkin… harapan yang seharusnya sudah kutinggalkan sejak lama.”

Taeyong hanya mengangguk sekali. “Kau tidak perlu minta maaf. Aku mengerti.”

Lalu Mingyu melangkah keluar, meninggalkan ruangan itu dengan pintu yang tidak sepenuhnya tertutup rapat. Seperti banyak hal di antara mereka yang juga belum benar-benar selesai.

Taeyong masih berdiri mematung di tempatnya. Sorot lampu putih ruangan terasa terlalu terang, kontras dengan bayangan perasaan yang bergema di dalam dadanya.

Ia menarik napas pelan, seolah mencoba mengembalikan dirinya ke ritme kerja seperti biasa. Tapi ucapaan Mingyu barusan menggema terlalu keras di kepalanya. Tidak seperti biasanya. Menarik diri. Bercampur dengan pekerjaan.

Taeyong tahu, Mingyu tidak sepenuhnya salah. Sejak peristiwa di rooftop, dirinya memang tidak bisa sepenuhnya memisahkan batas yang seharusnya ia jaga. Ia sedang belajar untuk tenang tapi dalam proses itu, mungkin ia tidak cukup jelas menunjukkan arah pada orang-orang di sekitarnya.

Dengan langkah perlahan, ia kembali ke ruangannya. Di meja kerjanya sudah menumpuk berkas lanjutan untuk pemeriksaan pasien berikutnya. Ia duduk, membuka satu per satu file, mencoba fokus. Namun baru beberapa lembar ia baca, pintu ruangannya kembali diketuk.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now