Hening kembali menyelimuti.
Taeyong tidak buru-buru bicara. Ia butuh waktu—untuk meresapi, bukan untuk menghindar. Lalu perlahan, jemarinya bergerak ringan menyentuh tangan pria di sebelahnya. Tidak menggenggam, hanya menyentuh.
Taeyong menunduk, menatap sambungan tangan mereka, lalu menutup matanya sejenak seolah sedang mengatur napas yang mulai tidak teratur.
“Aku… tidak tahu harus bicara apa, Jaehyun.”
Suara itu lirih, bukan karena ragu, tapi karena ada begitu banyak yang ingin disampaikan dan tidak tahu harus mulai dari mana.
“Tapi tadi… saat aku kembali dari toilet dan melihat kalian di balkon, ada sesuatu yang terasa nyeri… di tempat yang selama ini aku pikir sudah mati rasa.”
Ia menoleh perlahan. Menatap Jaehyun, bukan sebagai sahabat lama atau suami kontrak. Tapi sebagai seseorang yang selama ini selalu berdiri diam di balik semua kenangan, kebaikan, dan luka yang tidak pernah ia tahu harus bagaimana cara menyembuhkannya.
“Malam ini... aku sadar sesuatu,” Napasnya berat, dan matanya mulai terlihat basah. “Selama ini aku terus bertanya kenapa aku bisa setenang itu saat bersama Mingyu… tapi selalu resah kalau itu tentangmu. Kenapa aku bisa membuka ruang dengan perlahan untuk dia… tapi selalu tersesat kalau menyangkut kita.”
Ia mengatupkan bibir, berusaha menahan gemetar di suaranya. “Mungkin karena di antara semua hal yang bisa aku kendalikan, kau adalah satu-satunya yang tidak pernah bisa aku pastikan. Karena kalau itu tentangmu, semuanya jadi terlalu dekat. Terlalu penting. Terlalu menakutkan untuk dibayangkan kalau ternyata semua ini bisa saja berakhir.”
Jaehyun tidak menjawab. Tapi matanya, yang menatap Taeyong tanpa berkedip, mencerminkan segalanya. Perih, rindu, dan harap, semuanya bertumpuk di sana.
“Tapi sekarang aku di sini… kalau kau masih ingin aku di sini.”
Sentuhan di tangan Jaehyun perlahan berubah menjadi genggaman utuh. Bukan untuk menjawab. Tapi untuk tetap di sana.
Beberapa detik berlalu dalam diam. Tak terburu-buru.
Lalu, suara Jaehyun terdengar lagi. Rendah dan pelan, nyaris seperti bisikan.
“Terima kasih… karena memilih untuk tetap duduk di sini malam ini."
Taeyong menoleh pelan, dan Jaehyun akhirnya membalas tatapannya, kali ini tidak ragu.
“Dan maaf… kalau kejadian di gala tadi membuatmu tidak nyaman,” lanjutnya. “Aku seharusnya bisa menjaga suasana lebih baik. Aku tahu itu bukan hal mudah untuk dilihat… atau didengar.”
Taeyong tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Jaehyun, lama. Lalu dengan lembut, ia menggeleng pelan.
“Aku tidak ingin kau minta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahanmu. Yang kita rasakan malam ini... mungkin memang harus terjadi. Supaya kita bisa bicara seperti ini.”
Jaehyun mengangguk pelan, seolah akhirnya bisa menerima bahwa tidak semua luka harus disembunyikan. Bahwa Taeyong kini benar-benar melihatnya, bukan sebagai seseorang yang selalu menunggu di belakang, tapi sebagai seseorang yang juga pantas dipeluk tanpa ragu.
Mereka tak berkata apa-apa lagi setelah itu. Tidak butuh kata.
Hanya saling diam dalam kelegaan yang perlahan tumbuh.
Jaehyun bangkit lebih dulu, membereskan selimut dan menutup gorden dengan gerakan pelan. Lampu kamar kini hanya menyisakan cahaya redup yang hangat. Ia kembali ke sisi ranjang, menatap Taeyong dalam diam yang tak lagi terasa canggung.
Taeyong ikut berbaring menyusul.
Ada jeda kecil saat mereka sama-sama mencari posisi nyaman. Tapi saat tubuh mereka mulai saling mendekat, Jaehyun mengulurkan lengannya, ragu, seperti biasa.
ВЫ ЧИТАЕТЕ
Between The Lines (JAEYONG)
ФанфикшнApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 21
Начните с самого начала
