Ten ikut berdiri. “Biar waktu yang membantumu menyusun segalanya. Tapi jangan biarkan waktu mengambil semuanya sebelum kau siap.”

Taeyong yang mengangguk kecil—tak banyak kata, tapi cukup sebagai tanda bahwa perlahan hatinya mulai menerima kenyataan yang selama ini dia hindari.

**

Langkah Taeyong terasa lebih berat dari biasanya saat ia kembali ke ruangannya. Meski koridor rumah sakit tetap riuh dengan derap langkah dan suara trolly yang beradu, dunia di sekelilingnya terasa lebih lambat—seolah menyisakan ruang bagi pikirannya untuk terus berisik.

Sesampainya di dalam ruangan, pintu ia tutup perlahan. Ia berdiri di sana beberapa detik, membiarkan punggungnya bersandar pada daun pintu, menatap kosong ke depan. Raut wajahnya tidak lagi menampilkan kebingungan seperti pagi tadi, sekarang lebih seperti seseorang yang baru saja menyaksikan sesuatu yang selama ini berusaha ia hindari.

Langkahnya menuju meja terasa sunyi. Ia meletakkan berkas yang tadi sempat ia bawa, duduk perlahan di kursinya, lalu mendongak ke langit-langit. Helaan napasnya keluar panjang, seperti sedang mencoba mengurai benang kusut dalam kepalanya.

Kepalanya menoleh ke arah ponsel yang ia letakkan di meja. Jemarinya menggeser layar namun tak benar-benar berniat membuka pesan apapun. Ia hanya memandangi layar yang menyala, menatap satu nama yang terasa terlalu akrab.

“Sudah berapa dalam aku menyakitimu, Hyun…?”

Pertanyaan itu menggema dalam dirinya sendiri. Ia tidak mengatakannya dengan suara tapi cukup untuk membuat dadanya kembali terasa penuh.

Taeyong mengusap wajahnya. Lelah, namun perlahan mulai sadar.

“Kalau aku terus seperti ini… aku akan kehilangan satu-satunya tempat pulang yang selalu menerimaku tanpa syarat.”

Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang kembali memanas. Kali ini bukan karena goyah, tapi karena takut. Takut sudah terlalu jauh melangkah dan tidak bisa kembali.

Tangan kanannya meraih ponsel.

Ia belum mengetik apapun. Belum menelepon siapa-siapa.

Tapi di dalam dirinya, sebuah suara kecil mulai membisik pelan,

'Pulanglah, sebelum terlambat.'

Sementara di sisi kota yang lain, satu nama yang memenuhi pikiran Taeyong sejak pagi itu tengah berdiri tenang dalam balutan setelan hitam arang yang rapi. Jaehyun baru saja selesai mengikuti meeting dengan kolega proyek perluasan cabang baru mereka, ditemani oleh Yuta yang seperti biasa menjadi tandemnya dalam rapat-rapat penting. Meski wajahnya menunjukkan kendali penuh, sorot matanya menyimpan lelah yang tidak semua orang bisa mengerti.

Langkah Jaehyun mengayun mantap menyusuri koridor menuju ruangannya. Ia membuka pintu tanpa banyak ekspektasi, hanya untuk mendapati satu sosok berdiri membelakangi meja kerjanya, tepat di depan kaca besar yang menyajikan panorama Seoul sore hari yang padat dan tak pernah tidur. Bahunya tegap. Tangannya disilangkan di belakang punggung. Sosok yang selama ini menjadi simbol segala disiplin dan tanggung jawab dalam hidupnya.

Appa.

Jaehyun tidak menyangka akan melihat ayahnya di sini, apalagi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Ia segera melangkah masuk, menutup pintu dengan perlahan.

“Appa?” Sapa Jaehyun, mencoba tersenyum. “Ada urusan apa datang ke perusahaan?”

Sang ayah menoleh, sorot matanya tajam tapi tidak dingin. Ada kehangatan yang disimpan rapi di balik gestur-gestur kaku dan karisma yang tak pernah luntur.

“Aku baru bertemu rekan bisnis di hotel dekat sini.” Jawab Appa, suaranya berat tapi santai. “Jadi sekalian saja mampir. Sudah lama tidak melihat langsung bagaimana anakku mengurus kerajaan kecil ini.”

Between The Lines (JAEYONG)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora