Doyoung masih terdiam, hanya menatap Taeyong seolah ingin menembus pikirannya lebih dalam.

“Dan saat aku lihat dia melangkah mendekat padaku, saat dia berdiri di depanku tanpa bertanya apapun, hanya mengulurkan tangannya lalu mengajakku pulang, aku tahu… meskipun aku belum mengerti perasaanku sepenuhnya, aku hanya ingin memastikan satu hal. Bahwa Jaehyun masih ada. Masih menjadi wajah terakhir yang kulihat setelah hari panjang. Masih menjadi seseorang yang… aku harapkan akan tetap berdiri di sana, apapun yang terjadi.”

“Setelah itu?” Tanya Ten lembut.

Taeyong mengangguk pelan. “Kami bicara. Aku menceritakan semuanya… tentang rooftop, tentang kebingunganku, tentang betapa aku goyah. Lalu… dia hanya diam mendengarkan. Tidak marah, tidak kecewa, tidak menyalahkanku. Dia bahkan… memelukku.”

Suara Taeyong kembali melemah. “Pelukannya… hangat. Seperti… rumah.”

Ten dan Doyoung tak langsung merespons. Ruangan kembali diliputi hening yang berat, tapi bukan karena tak ada yang bisa dikatakan, justru terlalu banyak. Taeyong menunduk, jari-jarinya mengelus perlahan bibir cangkir yang mulai dingin di tangannya. Napasnya tertahan, seolah menunggu sesuatu yang bahkan ia sendiri tak berani harapkan.

Ten yang pertama membuka suara, pelan dan penuh pertimbangan.

“Kau tahu, Yong… kami mengerti, sangat mengerti. Tidak mudah berada di posisimu sekarang. Tapi ada satu hal yang… mungkin perlu kau akui, bukan pada kami, tapi pada dirimu sendiri.”

Taeyong menoleh, pandangannya lelah namun terbuka. Ten melanjutkan, “Selama ini kau tahu, kan? Tentang Jaehyun.”

Doyoung menimpali, suaranya lebih dalam, lebih tenang. “Tentang perasaannya padamu. Tentang caranya selalu menatapmu sejak dulu. Kau mungkin tidak pernah mendengarnya secara langsung, tapi… aku yakin, jauh di dalam dirimu, kau tahu.”

“Dan kau memilih pura-pura tidak tahu.” Tambah Ten lembut, tanpa nada menyalahkan. “Karena menurutmu itu lebih mudah. Karena kau takut… atau mungkin karena saat itu kau memang belum bisa merasakan hal yang sama.”

Taeyong menggigit bibir bawahnya. Jemarinya kini mencengkeram lutut, tak tahu harus mengarahkan matanya ke mana. Tubuhnya diam, tapi jiwanya gemetar.

“Setiap kali Jaehyun menuruti semua permintaanmu. Setiap kali dia ada, bahkan sebelum kau memintanya. Saat dia menyetujui pernikahan ini… tanpa tanya, tanpa syarat. Semua itu… bukan karena dia adalah sahabatmu.”

“Dia mencintaimu, Taeyong.” ucap Doyoung dengan lirih namun penuh kepastian. “Dan kau tahu itu.”

Sekilas, mata Taeyong berkaca-kaca. Ia menunduk lebih dalam, menutup wajahnya dengan telapak tangan

“Aku tahu…” bisiknya. “Aku tahu… tapi aku takut. Takut semua berubah. Takut kejujuran itu menghancurkan apa yang sudah kami miliki selama ini.”

“Dan sekarang,” Ten berkata sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Taeyong dengan penuh empati, “kau justru berada di titik di mana kau bisa saja kehilangannya… karena kau terlalu lama diam.”

Taeyong mengangguk perlahan. Diam-diam 0ia merutuki dirinya sendiri yang sudah membiarkan semuanya menjadi sebegitu rumit. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh, satu tetes… dua tetes, jatuh tanpa suara. Tapi cukup untuk membuat dadanya terasa lebih sesak daripada sebelumnya.

Doyoung bangkit, berjalan mendekat dan menepuk pelan bahu sahabatnya. “Kalau kau masih belum tahu apa yang kau rasakan… tidak apa-apa. Tapi tolong jangan lagi berpura-pura tidak tahu apa yang dia rasakan. Karena kalau sampai dia benar-benar pergi… kau akan tahu, itu bukan hanya kehilangan seorang sahabat.”

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now