Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Atap rumah sakit selalu jadi tempat yang terasa berbeda. Dari atas sini, Seoul terlihat seperti dunia yang bergerak cepat, tapi tidak terlalu dekat untuk membuatmu lelah. Angin sore berhembus ringan, membelai wajah mereka berdua yang berdiri bersisian di dekat pagar pembatas. Gedung-gedung tinggi di kejauhan mulai memantulkan cahaya keemasan dari matahari yang akan tenggelam.
"Pemandangan seperti ini bikin semuanya terasa... lebih ringan, ya?" Kata Mingyu, membuka tutup botolnya dan menyeruput sedikit.
Taeyong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan kedua tangan di atas pembatas besi, matanya menatap langit kota yang mulai lembut warnanya. "Entahlah. Aku rasa ringan atau tidaknya bukan karena pemandangan, tapi siapa yang bersamamu saat kau melihatnya."
Mingyu melirik Taeyong. "Itu berarti sekarang, kau merasa sedikit lebih ringan?"
Tatapan mereka bertemu sebentar, dan Taeyong hanya mengangkat bahu kecil. "Sedikit, mungkin."
Mingyu berdiri di sampingnya, nyaris menyentuh, namun tidak. Belum. Sampai akhirnya, tanpa suara, ia berbalik menatap Taeyong penuh.
Pandangan yang dalam, tenang, tapi menyimpan sesuatu yang begitu berat di dasarnya.
"Aku tahu kau lelah." Suara Mingyu pelan, nyaris seperti doa yang dititipkan pada angin. "Tapi bersamamu dalam hari-hari seperti ini... rasanya seperti menemukan sesuatu yang hilang. Dan aku tidak tahu apakah aku boleh merasa seperti itu."
Taeyong tidak menjawab. Tapi ia menoleh.
Dan saat mata mereka bertemu, satu detik. Dua. Lalu waktu berhenti menghitung.
Mingyu sudah mendekat lebih jauh. Tangannya terangkat perlahan. Sangat perlahan, seakan khawatir sentuhan itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh dalam diri Taeyong. Jari-jarinya menyentuh pipi kiri Taeyong dengan hati-hati, menelusuri lekuknya yang halus, berhenti di sana sejenak, hanya untuk merasakan hangat kulit yang mulai memerah.
"Taeyong..." Bisiknya, seolah namanya sendiri adalah doa yang ingin dijaga.
Tangannya kini turun ke bawah rahang Taeyong, membingkai pipi lelaki itu, ibu jarinya menyapu pelan bawah mata Taeyong yang tampak sedikit letih.
"Senyum ini..." gumamnya, nyaris tanpa suara, "aku ingin bisa jadi alasan di baliknya suatu hari nanti."
Hati Taeyong bergemuruh. Tangannya tak bergerak. Tubuhnya tak mundur.
Mata mereka masih terkunci.
Dan perlahan, sangat perlahan, Mingyu makin menipiskan jarak di antara mereka. Hidung mereka hampir bersentuhan. Nafas mereka mulai menyatu, hangat dan gugup.
Lalu bibir Mingyu berhenti, hanya sejengkal dari milik Taeyong. Ia menatap sekali lagi, meminta tanpa suara.
Dan Taeyong...
Ia memejamkan matanya. Tubuhnya diam, bibirnya sedikit mengatup seperti sedang bersiap menerima sesuatu yang tidak ingin diakui, namun tak mampu untuk ditolak. Ada ketenangan yang lembut dalam momen itu, seperti dunia berhenti berdetak, seperti semesta mengizinkan satu kesalahan yang nyaris terasa benar.
Jarak tinggal sehembus napas.
Hawa panas dari kedekatan tubuh mereka membuat udara di sekeliling terasa lebih berat. Nafas Mingyu menyapu bibirnya. Detak jantung Taeyong memukul tulang rusuknya dari dalam.
Hampir...
Sangat hampir...
Namun justru di detik itulah, saat dunia terasa nyaris berpindah arah, bayangan seseorang muncul dalam benak Taeyong-
Jaehyun.
Wajah yang selalu muncul dalam diamnya.
Wajah yang menatapnya penuh perlindungan sejak kecil.
Wajah yang... begitu tenang saat berkata bahwa ia tak akan menahan Taeyong untuk memilih.
Wajah yang menyimpan luka paling dalam di balik senyuman terluasnya.
Dan di situlah semuanya runtuh.
Taeyong membuka matanya.
Cepat.
Terlalu cepat bahkan.
Dadanya naik turun, seolah menyadari sesuatu yang selama ini ia hindari. Ia mengangkat tangannya dengan perlahan tapi pasti, menekankan jari-jarinya ke dada Mingyu dan mendorong pria itu pelan menjauh. Bukan karena benci. Bukan karena marah. Tapi karena ada batas yang tak bisa ia biarkan dilangkahi.
"Jangan..." Bisik Taeyong, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Mingyu. Suaranya bergetar. "Kita... tidak bisa. Ini salah..."
Ia menatap Mingyu sejenak. Mata yang dipenuhi gejolak, namun juga tekad yang sedang ia kumpulkan sekuat tenaga.
"Mingyu..." Lanjutnya dengan suara yang lebih stabil, meski masih berat, "Terima kasih... untuk semuanya. Untuk caramu memperlakukanku... dengan sabar, lembut, dan sangat mengerti. Tapi... aku tidak bisa. Maaf."
Hening.
Angin lewat di antara mereka seperti jeda.
Mingyu menatapnya, dan dalam sorot matanya ada luka kecil yang perlahan merekah. Namun ia tetap berdiri tegak, tak memohon, tak memaksa. Hanya menerima.
"Maafkan aku." Ucapnya akhirnya, pelan sekali. "Aku... yang terlalu berharap."
Taeyong menunduk, menarik nafas panjang. "Aku harus kembali ke ruangan." Ujarnya lirih lalu membalikkan badan.
Langkahnya meninggalkan rooftop tanpa menoleh. Tapi langkah itu terasa lebih pasti, lebih berat, dan lebih jujur dari sebelumnya.
Mingyu tetap berdiri di sana, menatap punggung yang menjauh dengan perasaan yang tidak bisa ia selamatkan. Terpaku. Tangannya menurun, wajahnya kehilangan cahaya yang tadi sempat menyala.
Ia mengerti sekarang.
Bahwa tak peduli seberapa besar ruang yang Taeyong buka untuknya, selalu ada satu ruang yang tidak bisa ia lewati.
Ruang itu sudah lama diisi oleh seseorang bernama Jung Jaehyun.
***
Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.