“Aku tidak mengatakan ini untuk membuatmu merasa bersalah,” lanjutnya. “Aku hanya tidak ingin kau menyembunyikan sesuatu sampai kau sendiri tersiksa.”

Taeyong menunduk. Jemarinya menggenggam sendok dengan sedikit gemetar.

“Kau tahu betul, aku selalu ingin dirimu bahagia, bukan?”

Taeyong mengangguk, pelan. Tapi hatinya... hatinya seperti ditusuk perlahan dari dalam. Bagaimana bisa Jaehyun mengatakan semua ini dengan begitu tenang?

“Aku ingin kau merasa bebas,” kata Jaehyun. “Dan kalau Mingyu bisa membuatmu merasa seperti itu... tidak apa-apa. Sungguh tidak apa-apa.”

Kalimat terakhir itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri daripada kepada Taeyong.

Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Hening yang begitu pekat, namun sarat makna. Sampai akhirnya Jaehyun mengangkat sendoknya kembali dan mulai makan seperti biasa, seolah tidak baru saja melepaskan satu lapis dari hatinya malam itu.

Dan Taeyong... ia masih menunduk, tidak bergerak, tidak bicara. Tapi jemarinya mencengkeram kain di pangkuannya begitu erat, seolah hanya itu yang bisa menahannya dari ambruk di tempat.

Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Di satu sisi, Jaehyun baru saja melegalkan ruang bagi dirinya untuk memilih, memilih orang lain. Tapi di sisi lain, cara Jaehyun melepaskan terasa seperti mengiris, perlahan namun dalam.

Bukankah pria itu yang selalu menjaganya sedari kecil? Yang selalu berdiri paling depan saat Taeyong goyah. Yang pertama kali menyodorkan tangannya setiap kali Taeyong merasa kehilangan arah. Dan sekarang, pria itu duduk di seberang meja, menyuap makan malamnya sendiri, seakan tidak sedang membiarkan sesuatu yang besar hancur perlahan di antara mereka.

Taeyong mengangkat wajahnya sekilas, menatap Jaehyun. Pria itu terlihat seperti biasa. Tidak ada garis luka di wajahnya, tidak ada gugup, tidak ada gelisah.

Taeyong menarik napas pelan. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya terhenti di tenggorokannya. Ia takut jika terlalu jujur, ia akan merobohkan seseorang yang bahkan tidak sedang berdiri.

Akhirnya ia memilih berdiri, mengumpulkan piring-piring makan malam yang belum benar-benar kosong. “Aku bersihkan ini dulu.” ucapnya singkat, nyaris seperti gumaman.

Jaehyun hanya mengangguk sekali, tidak berkata apa-apa.

Taeyong melangkah ke dapur, membelakangi Jaehyun dengan hati-hati. Ia tidak ingin pria itu melihat bahunya yang merosot atau napasnya yang tak beraturan. Ia tidak menangis. Tidak. Tapi jika seseorang cukup peka, ia bisa melihat dari cara Taeyong memegang piring-piring itu, bahwa hatinya sedang runtuh perlahan, tanpa suara.

Di antara suara air mengalir dan piring yang ia cuci satu per satu, benaknya berisik. Kata-kata Jaehyun kembali terulang, terus dan terus. Seolah pria itu tengah berkata, kau boleh memilih siapa pun, asalkan bukan aku.

Dan entah mengapa... justru itu yang paling menyakitkan.

**

Beberapa hari telah berlalu sejak malam itu, dan dalam hitungan hari itu pula, banyak hal yang perlahan berubah.

Jaehyun tetap seperti biasa. Menjalankan hari-harinya dengan rapi, hadir sebagai sosok yang sabar, tak menuntut, dan tidak pernah bertanya. Dan mungkin, justru sikap itu yang diam-diam mengguncang Taeyong lebih dalam.

Karena semakin Jaehyun tidak bertanya, semakin besar rasa bersalah yang tumbuh di dada Taeyong. Semakin lelaki itu bersikap seolah tidak ada yang berubah, semakin Taeyong merasa seperti sedang mengkhianati seseorang yang tidak pernah menggenggamnya, tapi selalu menjaga.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now