“Kau dan Jaehyun?”
“Iya. Aku cerita tentang Mingyu. Tentang perasaannya... dan tentang reaksiku.” Taeyong menarik napas, menatap Ten dengan mata yang mulai buram. “Dia tanya bagaimana perasaanku pada Mingyu. Tapi aku... aku tidak bisa jawab. Karena bahkan aku sendiri tidak tahu.”
Ten hanya mengangguk pelan. Tidak menyela, tidak memotong.
“Tapi yang paling menyakitkan dari semuanya… adalah melihat bagaimana Jaehyun tetap tenang. Ia tidak marah, tidak kecewa, tidak menuntut apa pun padaku. Ia hanya... tersenyum dan bilang bahwa kita sudah sepakat. Padahal aku tahu... aku tahu dari sorot matanya malam itu, dia sedang menahan semuanya. Dan aku... tetap saja tidak bisa memberi kepastian apa pun padanya.”
Ten diam cukup lama. Lalu dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, ia berkata, “Apa kau tahu kenapa Jaehyun tidak marah, Yong?”
Taeyong tidak menjawab.
“Karena ia tidak ingin menyakitimu, walaupun itu berarti ia harus menyakiti dirinya sendiri.”
Keheningan jatuh di antara mereka.
“Dan aku percaya, kau tahu itu lebih baik dari siapa pun.”
Taeyong masih terdiam setelah mendengar kalimat terakhir Ten. Pandangannya kosong, tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di atas mejanya, tapi pikirannya jauh dari sana. Ucapan Ten tadi menggema di kepalanya, menghantamnya pelan tapi tepat di bagian yang paling rapuh.
“Ten,” suara Taeyong akhirnya terdengar, berat, hampir seperti bisikan. “Aku tidak pernah ingin menyakitinya…”
“Aku tahu,” potong Ten pelan. “Tapi rasa sakit tidak selalu datang dari niat buruk, Yong. Kadang kita menyakiti orang hanya karena kita bingung, atau karena kita terlalu diam.”
Taeyong menunduk lagi. Tangannya saling menggenggam di atas meja, seperti berusaha menahan dirinya agar tidak runtuh. “Aku pikir dengan menjaga jarak darinya, aku bisa memberi waktu pada diriku sendiri. Tapi ternyata... itu justru menyakitinya lebih dalam. Aku bisa lihat dari caranya bicara... dari cara dia menatapku dua malam lalu.”
Ten menatap sahabatnya dengan sorot yang lembut, namun penuh kekhawatiran.
“Kalau Mingyu benar-benar menyukai kau, dan kau juga mulai merasakan hal yang sama… itu tidak salah. Tapi sebelum kau memilih siapa pun, setidaknya… jangan abaikan dia yang selama ini selalu memilihmu, bahkan ketika ia tidak punya alasan untuk tetap bertahan.”
Taeyong menunduk. Kali ini benar-benar terdiam, dan Ten tidak memaksanya bicara lebih. Ia tahu, sahabatnya sedang memproses semuanya—dan proses itu tidak pernah mudah.
Setelah beberapa saat, suara napas panjang Taeyong terdengar.
“Aku hanya ingin semuanya... tidak serumit ini.”
Ten mengangguk kecil. “Tapi hidup tidak pernah sesederhana itu, Yong. Dan cinta... jauh lebih rumit dari yang bisa kita rencanakan.”
Sunyi menggantung di antara mereka lagi. Tapi kini bukan karena kebingungan atau kesedihan. Lebih pada jeda untuk mencerna, menenangkan, dan perlahan—menerima.
“Terima kasih sudah datang, Ten,” kata Taeyong lirih.
Ten tersenyum lembut. “Selalu. Aku di sini bukan untuk menuntut jawaban, tapi untuk mengingatkanmu bahwa kau tidak sendiri.”
Taeyong mengangguk pelan. Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, ia menghela napas panjang… bukan karena sesak, tapi karena sedikit beban di dadanya terasa terangkat.
**
Langit Seoul masih menyisakan rona jingga ketika Taeyong membuka pintu rumah. Helaan napasnya nyaris bersamaan dengan suara pintu yang tertutup pelan di belakangnya. Sepasang sepatunya ia lepas hati-hati, seolah lelahnya tidak hanya menyangkut fisik, tapi juga emosi yang sejak pagi terus ia tahan di balik senyum profesionalnya.
YOU ARE READING
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 15
Start from the beginning
