Sesekali, Jaehyun menambahkan sedikit lauk ke mangkuk nasi Taeyong tanpa berkata apa-apa. Dan meski tak mengangkat wajah, Taeyong tahu betul kebiasaan kecil itu.

Hati Taeyong berdesir pelan. Ia menyesap supnya sambil menahan napas sebentar, seolah rasa asin yang ia telan bukan dari bumbu, tapi dari kesadaran bahwa tidak semua kebaikan datang dari cinta yang diberi tahu. Beberapa, seperti milik Jaehyun, hadir dalam diam dan tindakan sederhana, tanpa pernah meminta balasan.

Pagi itu, mereka duduk berdua di meja makan yang sama. Sepasang suami yang sah, tapi tetap terasa seperti dua hati yang berdiri di ujung garis tak kasat mata. Yang satu perlahan melangkah maju, sementara yang lain masih menunggu, dengan harapan yang mulai tak bersuara.

Setelah sarapan, mereka sama-sama kembali ke ruang tengah. Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan, Jaehyun duduk di sofa dengan buku yang bahkan belum sempat ia buka, sementara Taeyong menyalakan televisi tapi tidak benar-benar menontonnya.

Hening, tapi tidak canggung. Masing-masing dengan pikirannya sendiri, tapi entah bagaimana tetap saling terhubung lewat kehadiran diam-diam di ruang yang sama.

Beberapa kali, Taeyong mencuri pandang ke arah Jaehyun. Wajah sahabatnya itu masih menyimpan sisa-sisa letih yang tidak bisa ditutupi sepenuhnya, meski Jaehyun berusaha bersikap biasa. Dan Jaehyun, dari sudut matanya, sesekali memperhatikan Taeyong dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

Waktu berjalan lambat. Di meja kecil di depan mereka, dua gelas teh hangat telah mendingin. Taeyong bersandar pelan, melipat kedua tangannya di dada, matanya menatap ke arah layar televisi yang menampilkan tayangan berita ringan.

Dan di tengah keheningan itu, suara getar ponsel memecah suasana.

Ponsel Taeyong, yang diletakkan sembarangan di meja sejak tadi, menyala. Layar yang menghadap ke atas memperlihatkan nama yang terpampang jelas.

Mingyu.

Jaehyun tidak bergerak, tapi matanya jatuh ke layar itu secara refleks. Ia tidak berkata apa-apa. Tidak perlu. Karena diamnya sudah cukup jadi pertanyaan.

Taeyong pun melihat layar ponsel itu. Satu detik. Dua. Tiga.

Ia tidak langsung bereaksi. Hanya menatapnya… sebelum akhirnya menekan tombol samping, mematikan getarannya tanpa mengangkat panggilan itu. Lalu kembali bersandar seperti tadi, seperti tidak ada yang terjadi.

Namun ada sesuatu di udara yang berubah.

Jaehyun tetap diam. Tidak menanyakan. Tidak menunjukkan apapun lewat ekspresi wajahnya. Tapi di balik tenangnya, hatinya sedikit menegang… lalu perlahan melepaskannya saat menyadari keputusan Taeyong untuk tidak mengangkat.

Itu tidak berarti segalanya. Tapi cukup untuk pagi itu.

Cukup untuk memberinya satu hal kecil yang bisa ia genggam. Bahwa mungkin, hanya mungkin, Taeyong juga sedang mencari arah di tengah segala yang membingungkan ini.

**

Setelah hari yang tenang dan nyaris tanpa gangguan, Jaehyun dan Taeyong makan malam dengan suasana yang bisa dibilang hangat. Tidak banyak percakapan, hanya obrolan ringan tentang pekerjaan dan rencana mereka untuk belanja kebutuhan rumah akhir pekan nanti. Untuk sesaat, semuanya terasa seperti rumah.

Tapi kedamaian itu tidak bertahan lama.

Ketika mereka baru saja selesai merapikan piring makan ke dapur, suara bel rumah terdengar dari arah depan. Satu denting, jelas dan tegas.

Jaehyun, yang masih menggulung lengan kemeja rumahnya, menoleh ke arah sumber suara. “Aku buka pintunya.” katanya ringan, tanpa nada curiga. Taeyong hanya mengangguk, berdiri di dekat meja makan.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now