Jaehyun hanya tersenyum kecil, tipis, dan sangat menyedihkan.
“Aku pulang, Taeyong. Itu cukup, kan?”
Taeyong tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan… walau di dalam dadanya terasa begitu penuh dan kata-kata yang sebenarnya ingin ia ucapkan hanya tersangkut di tenggorokan.
Langkah Jaehyun terasa berat saat menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Tangannya menyusuri pagar kayu tangga yang dingin, seolah mencari pegangan lain selain pikirannya sendiri. Ia tidak langsung menuju ruang tengah atau dapur, ia hanya ingin pergi ke tempat yang paling aman untuk dirinya saat ini, kamarnya.
Begitu sampai di depan pintu, ia membuka perlahan. Kamar itu sunyi. Rapi. Terlalu rapi, bahkan, untuk seseorang yang isi kepalanya seruwet ini.
Ia masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan pelan.
Jaehyun meletakkan ponselnya di atas meja, tepat di samping beberapa dokumen kerja yang belum ia sentuh sejak dua malam lalu. Lalu ia duduk di tepi ranjang, menunduk, membiarkan tubuhnya diam dalam sunyi.
“Mingyu menyukaiku. Dan… dia tahu tentang pernikahan kita.”
Jaehyun memejamkan mata, mencoba menekan kembali suara itu yang terus bergema di kepalanya.
Ia menyandarkan kepala di kedua telapak tangan, menatap kosong ke bawah. Matanya terasa berat. Tidak hanya karena kurang tidur, tapi karena beban yang terus-menerus ia pikul di balik senyum dan gestur penuh perhatian yang selalu ia tampilkan.
Karena tidak ada yang tahu seberapa sakitnya mencintai seseorang yang tak pernah tahu kau mencintainya sedalam itu.
Dan lebih dari segalanya, tidak ada yang tahu seberapa dalam luka yang ditinggalkan ketika seseorang itu mulai goyah... bukan padamu.
Cukup lama waktu pagi itu Jaehyun habiskan dengan berdiam diri di dalam kamar. Tidak tidur, tidak melakukan apapun. Hanya diam.
Sampai ketika ketukan pelan terdengar di balik pintu kayu putih itu, tiga kali, dengan jeda yang memberi ruang untuk pilihan, membuka atau tetap diam.
“Jaehyun,” panggil Taeyong dari luar dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, “Aku sudah menyiapkan sarapan.”
Tak ada jawaban seketika. Taeyong sempat mengira Jaehyun masih tidur, atau mungkin sengaja memilih tidak menjawab. Tapi beberapa detik kemudian, suara langkah pelan terdengar dari balik pintu, disusul bunyi klik saat kenop pintu diputar dari dalam.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan Jaehyun dengan rambut masih sedikit berantakan dan mata yang tampak lelah meski ia berusaha menyembunyikannya dengan senyum kecil.
“Terima kasih.” ucapnya, singkat.
Taeyong mengangguk pelan, lalu membalikkan badan, mendahului Jaehyun menuruni tangga. Jaehyun mengikuti dari belakang tanpa suara, membiarkan jarak beberapa langkah memisahkan mereka.
Meja makan sudah tertata rapi. Dua mangkuk nasi, sup hangat yang masih mengepul, dan beberapa lauk khas sarapan Korea yang biasa mereka makan di akhir pekan saat tidak bekerja—padahal ini bukan akhir pekan.
Taeyong duduk lebih dulu lalu melirik Jaehyun yang kini ikut menarik kursi di hadapannya.
“Hari ini... kau tidak pergi ke kantor kan?” tanya Taeyong, berusaha membuat percakapan ringan.
Jaehyun melirik sebentar. “Johnny dan Yuta melarang keras aku datang ke kantor,” jawabnya, dengan senyum kecil. “Jadi… aku akan di rumah.”
Taeyong mengangguk sekali, lalu kembali pada makanannya. Percakapan mereka tidak berlanjut. Tapi tidak juga terasa asing. Hening yang menggantung di antara mereka lebih mirip ruang tunggu, menanti satu dari keduanya cukup berani untuk bicara lebih jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 14
Mulai dari awal
