Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Tak lama, kepalanya mulai miring ke satu sisi. Tubuhnya merosot pelan. Johnny refleks menopang bahunya, memastikan ia tidak jatuh. Yuta mengamati dengan khawatir, tapi tak berkata apa-apa.
Dan akhirnya... Jaehyun tertidur.
Bukan karena nyaman. Tapi karena tubuhnya sudah tak sanggup lagi berjaga.
Johnny dan Yuta saling pandang. Tidak ada yang bicara, tapi mereka mengerti. Luka Jaehyun terlalu dalam untuk bisa dibalut dalam semalam. Dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada mencintai seseorang yang bahkan tidak tahu apakah hatinya masih tempatmu pulang.
Johnny hendak berdiri untuk memanggil staf bar agar membantu mereka membawa Jaehyun pulang. Namun suara bergetar lembut dari atas meja menghentikan gerakannya.
Layar ponsel Jaehyun menyala.
Satu nama terpampang jelas di sana.
Taeyong.
Getaran itu pelan. Tapi seolah mengguncang suasana sunyi yang baru saja terbentuk. Seolah menegaskan bahwa ada sesuatu yang belum selesai... dan belum bisa dihadapi malam ini.
Yuta menoleh, menatap layar itu, lalu memindahkan pandangannya pada Johnny. Mereka tidak saling berbicara. Tapi keduanya mengerti.
Panggilan itu bukan untuk dijawab sekarang.
Johnny menatap layar ponsel selama beberapa detik. Lalu, dengan hati-hati, ia membalik ponsel Jaehyun, menutup layar yang masih menyala.
"Biar nanti saja." ucapnya pelan. "Setelah ia bangun. Setelah ia mampu menata dirinya lagi."
Yuta mengangguk kecil. "Kita tidak bisa membawanya pulang ke rumah dalam kondisi seperti ini. Taeyong tidak boleh melihat Jaehyun... dalam keadaan seperti ini."
Johnny mengangguk. "Ke apartemenmu saja?"
"Ya," sahut Yuta cepat. "Kau bantu aku membawanya, ya?"
Johnny mengangguk. Tanpa banyak bicara, ia menggeser kursi, lalu menunduk meraih bahu Jaehyun. Bersama Yuta, mereka menyelipkan tangan masing-masing ke bawah lengan Jaehyun, mengangkatnya perlahan.
Tubuh Jaehyun lemas, berat bukan karena ukuran, tapi karena kelelahan batin yang seolah menguras setiap kekuatannya. Dalam tidur, Jaehyun bergumam, suara samar, tidak jelas, seperti nama, seperti rintihan. Mungkin sisa racau dari luka yang belum sempat ia akui sepenuhnya saat masih terjaga.
Namun Johnny dan Yuta tidak bertanya, tidak mencoba menafsir. Mereka hanya berjalan, langkah mereka teratur dan pelan. Menjaga tubuh itu seakan membawa sesuatu yang rapuh dan berharga.
Sementara itu di sisi lain kota. Lampu di ruang tengah rumah Jaehyun dan Taeyong masih menyala. Taeyong duduk di sofa, tubuhnya diam tapi hatinya berkecamuk hebat. Tatapannya terus menatap pintu masuk yang belum juga terbuka sejak Jaehyun pergi beberapa jam lalu.
Ponsel di tangan kanannya sudah berkali-kali digunakan untuk menghubungi satu nama yang sama. Tidak dijawab. Tidak dibaca. Tidak dibalas.
"Jaehyun...." Gumamnya pelan, nyaris seperti doa.
Ia mencoba sekali lagi, ibu jarinya ragu tapi akhirnya tetap menekan ikon panggilan. Nada sambung terdengar... satu... dua... tiga kali... dan lagi-lagi langsung masuk ke kotak suara.
Taeyong menunduk, kedua siku bertumpu pada lututnya, tangannya menggenggam erat ponsel yang terasa lebih berat dari biasanya. Ada bagian dalam dirinya yang menyesal, ada bagian lain yang bingung, tentang semuanya. Tentang dirinya. Tentang Jaehyun. Tentang Mingyu.
Ia menoleh ke arah jam dinding. Sudah lewat pukul satu pagi. Dadanya semakin sesak.
Tiba-tiba, suara notifikasi pesan masuk memecah keheningan ruang. Taeyong langsung mengangkat ponselnya dengan harapan bodoh bahwa itu dari Jaehyun. Tapi... bukan.
Yuta.
Alisnya berkerut, jemarinya gemetar membuka pesan yang hanya terdiri dari satu kalimat pendek
[Yuta] Jae ada di apartemenku sekarang. Dia aman. Sedang tidur.
Jantung Taeyong seperti berhenti berdetak untuk beberapa detik. Ia menatap layar ponsel lama sekali, seolah belum benar-benar yakin dengan apa yang ia baca.
Dia aman. Kalimat itu seharusnya cukup untuk menenangkannya tapi kenapa rasanya malah menusuk lebih dalam?
Perlahan ia bersandar ke sandaran sofa, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam diam. Pandangannya menerawang, memikirkan kemungkinan apa saja yang terjadi pada Jaehyun malam ini.
Apa yang dirasakan Jaehyun malam ini? Apa yang dia tahan sendirian? Apa yang Jaehyun sembunyikan di balik kata-kata tenangnya tadi?
Dan lebih dari itu...
Kenapa rasanya sakit sekali mengetahui bahwa Jaehyun memilih tidak pulang?
***
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.