Yuta memejamkan mata sesaat, menahan napas yang tersendat.

Dan Jaehyun... dia kembali menunduk, kedua tangannya kini menggenggam bagian bawah wajahnya, seakan mencoba menahan segala hal yang terasa akan meledak keluar dari dalam dirinya.

"Aku... lelah."

Dua kata yang mengakhiri segalanya malam itu.

Johnny tidak tahan lagi. Ia mendekat. Dan kali ini, tanpa berkata apa-apa, ia menarik kepala Jaehyun ke dalam pelukannya.

Sejenak, Jaehyun diam.

Lalu... pecah.

Tangisnya meledak. Sunyi, tapi dalam. Tidak meraung. Tidak menjerit. Hanya tubuh yang bergetar hebat dan napas yang terengah-engah seperti menahan hujan yang sudah berbulan-bulan tak turun.

Air mata membasahi bahu Johnny. Tapi ia tidak bergeming. Ia hanya mengeratkan pelukan itu. Satu tangan di punggung Jaehyun. Satu lagi di belakang leher sahabatnya. Menjaga agar yang hancur tak jatuh sepenuhnya.

Yuta merunduk lebih dekat. Menjaga sisi lain tubuh Jaehyun. Menjadi tembok di sisi kanan ketika yang di kiri mulai runtuh.

Mereka bertiga duduk di sana, membiarkan sahabat mereka menumpahkan luka yang selama ini ia tahan. Semua sesak, semua kecewa, semua cinta yang terkurung dalam diam akhirnya tumpah begitu saja, di antara cahaya remang, alkohol yang sudah basi dan udara yang terlalu tenang untuk rasa sakit sebesar ini.

Tidak ada suara selain napas berat Jaehyun dan isak yang ia tahan separuh mati.

Tidak ada yang mencoba menyela. Tidak ada yang ingin menghentikan.

Karena malam itu, untuk pertama kalinya... Jaehyun tidak pura-pura kuat.

Dan Johnny serta Yuta, mereka membiarkan luka itu tumpah, sepenuhnya.

**

Setelah cukup lama Jaehyun menumpahkan tangisnya, tubuhnya masih bersandar di pelukan Johnny. Bahunya yang tadi berguncang kini perlahan mulai mereda tapi sisa sesaknya belum benar-benar pergi. Ia tidak bicara lagi. Tak ada suara, hanya napas yang tertahan, turun naik dalam ritme yang tidak teratur.

Johnny tetap diam, tidak mengendurkan pelukannya. Yuta masih duduk di sisi lain, tetap menggenggam tangan Jaehyun yang sejak tadi tidak melepaskan. Mereka bertiga tenggelam dalam keheningan yang tidak canggung, sebuah keheningan yang hanya bisa terbentuk di antara orang-orang yang saling mengenal begitu dalam.

Malam semakin larut. Bar mulai sepi. Pengunjung lain sudah banyak yang pergi, menyisakan hanya beberapa wajah yang larut dalam dunia mereka sendiri, tenggelam di balik gelas dan cerita yang tak tersampaikan.

Di sudut ruangan itu, waktu terasa berhenti. Dunia seolah menyempit hanya menjadi mereka bertiga-satu yang terluka, dua yang bertahan demi satu itu.

Tak ada kalimat yang bisa meredakan apa yang sedang dirasakan Jaehyun. Dan Johnny maupun Yuta tahu, malam seperti ini bukan untuk menyelesaikan apapun tapi untuk menemani, menjaga agar yang jatuh tidak benar-benar hancur sendiri.

Pelan-pelan, Jaehyun melepas pelukan itu, bahunya kini tak lagi berguncang tapi matanya tetap sembab. Ia mengusap wajahnya dengan punggung tangan, menyeka sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipi.

"Maaf..." gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Johnny menatapnya sebentar, lalu menggeleng. "Tidak perlu minta maaf."

Yuta ikut bicara, nadanya tenang, pelan. "Kalau kau tidak menangis di depan kami, lalu di mana lagi?"

Jaehyun tak menjawab. Ia hanya menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di atas pahanya. Tubuhnya kini bersandar ke belakang, lebih dalam ke sofa. Kelopak matanya tampak berat, napasnya perlahan menjadi lebih stabil. Ada kelelahan yang tak bisa ditutupi, bukan hanya karena alkohol, tapi karena jiwanya benar-benar letih.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now