Pandangan Jaehyun jatuh ke gelas kosong di depannya. Tangannya gemetar saat mengambil gelas berikutnya.
Lalu matanya mulai kabur lagi. Bukan karena alkohol, tapi karena bayangan lain yang mulai muncul.
Kenangan.
Ia dan Taeyong.
Mereka bertemu sebelum mereka bisa mengucapkan nama masing-masing dengan benar. Anak kecil dari dua rumah bertetangga yang saling berbagi mainan, luka di lutut, tawa lepas dan mimpi-mimpi kecil yang belum tahu betapa kejam dunia bisa jadi.
Saat Taeyong tinggal bersama keluarganya, saat tidur di ranjang yang sama berubah jadi kebiasaan, saat sarapan pagi bersama bukan hal luar biasa.
Saat itu, semuanya masih sederhana.
Cinta belum ada. Atau mungkin, sudah ada, tapi belum sempat diberi nama.
Jaehyun menutup matanya.
Ia tumbuh bersama Taeyong. Hampir seluruh hidupnya ia habiskan bersama Taeyong.
Ia tahu cara Taeyong tertawa. Ia tahu cara Taeyong diam. Ia tahu cara Taeyong pura-pura baik-baik saja. Ia tahu semua celah dalam hidup sahabatnya itu-semua, kecuali satu, pintu hati yang tak pernah ia miliki kuncinya.
Dan kini, seseorang yang bahkan baru mengetuk sebentar, berhasil membuat pintu itu terbuka sedikit.
Jaehyun merasa lelah. Bukan karena alkohol. Tapi karena hidup telah mempermainkannya terlalu lama.
"Aku mencintaimu, Taeyong...." bisiknya, nyaris tak terdengar, seolah takut semesta mendengar dan membuatnya lebih nyata.
Lampu bar berpendar samar di matanya yang mulai sembab karena alkohol. Senyum tipis terlukis di bibirnya, bukan karena bahagia tapi karena getir. Karena inilah kenyataannya.
Di sudut kota yang tak peduli, Jung Jaehyun duduk sendirian, mabuk oleh luka dari cinta yang terlalu lama dipendam, terlalu dalam untuk disangkal, terlalu tulus untuk dikhianati.
**
Suara pintu bar terbuka, disertai denting kecil dari lonceng yang menggantung di atasnya.
Johnny masuk lebih dulu. Nafasnya sedikit terburu, matanya menyapu seluruh ruangan remang yang dipenuhi cahaya temaram dan aroma alkohol. Di belakangnya, Yuta menyusul, sama gelisahnya, dengan langkah panjang dan pandangan mencari.
Mereka tidak sempat berganti pakaian. Masih mengenakan kemeja kerja yang kini kusut karena hari yang terlalu panjang, dan kini... ditutup oleh malam yang jauh lebih melelahkan. Bukan karena pekerjaan, tapi karena sahabat mereka terluka... dan memilih terluka sendiri.
"Di sana." Ujar bartender pelan, mengenal mereka bertiga. Nada suaranya berat, seperti ikut merasakan beban malam ini. Ia menunjuk ke sudut kanan belakang bar.
Johnny dan Yuta langsung berjalan cepat ke arah yang ditunjukkan.
Di sana, di pojok ruangan yang hampir gelap, duduklah Jaehyun. Tubuhnya menyandar pada sandaran sofa yang terasa terlalu dingin dan kosong. Satu tangan masih menggenggam gelas kosong, dan matanya menatap jauh ke udara. Wajahnya pucat. Matanya merah. Bukan sekadar lelah atau karena alkohol, tapi karena luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan.
Langkah kaki mereka mendekat. Tapi Jaehyun tetap diam, seakan tenggelam dalam ruang yang tak bisa mereka jamah.
Hanya saat Johnny duduk di sebelah kirinya dan Yuta mengambil tempat di sisi kanan, barulah Jaehyun perlahan memutar kepalanya. Matanya menatap mereka. Kosong. Tapi mulai retak.
Johnny menatap Jaehyun lama, sebelum akhirnya bersuara. Suaranya nyaris bergetar, seperti menyuarakan luka yang sudah terlalu lama tertahan.
"Kau memilih hancur sendiri tanpa memberitahu kami?"
YOU ARE READING
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 13
Start from the beginning
