Taeyong menatap ke arahnya, suara lirihnya terdengar nyaris seperti bisikan. "Aku tidak tahu harus menjawab apa waktu itu. Aku juga belum tahu harus bilang apa sekarang..."
Jaehyun masih diam. Sorot matanya tetap lurus ke depan tapi jelas sekali ada sesuatu yang mengabur di sana. Bukannya ia tidak ingin menjawab, tapi tenggorokannya terlalu kering untuk bicara. Ada ribuan kalimat yang ingin ia keluarkan, tapi tak satu pun terdengar cukup pantas untuk situasi ini.
Di dalam dirinya, sesuatu runtuh. Tapi ia terlalu terbiasa menampung luka dalam diam. Ia terlalu terbiasa mencintai tanpa jaminan bahwa rasa itu akan kembali.
"Aku tahu ini tidak adil..." ucap Taeyong lagi. Suaranya lebih lirih, hampir seperti anak kecil yang tahu ia berbuat salah tapi tidak tahu bagaimana memperbaikinya. "Untukmu. Untuk kita."
Jaehyun mengerjapkan matanya perlahan. Ia menoleh, menatap wajah Taeyong yang masih menunduk. Sorot wajah itu, jujur tapi juga bimbang. Bukan rasa bersalah yang membuat Jaehyun semakin sesak. Justru ketidakpastian yang terpancar dari Taeyong itulah yang lebih menghancurkan. Jaehyun menarik napas dalam. Menelan semuanya.
"Aku tidak marah." kata Jaehyun pelan, akhirnya. "Kalau kau khawatir aku akan marah... tidak, aku tidak akan seperti itu."
Taeyong mengangkat wajahnya sedikit. Pandangannya mencari mata Jaehyun.
"Lalu... kau tidak kecewa?"
Jaehyun tersenyum. Tipis. Tapi senyum itu lebih menyakitkan daripada tangisan paling nyaring.
"Aku tidak punya hak untuk itu, kan?"
Keduanya terdiam lagi.
Jaehyun menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Nafasnya pelan tapi dalam. Tatapannya tidak lagi pada Taeyong, melainkan pada cangkir teh yang sejak tadi sudah dingin di meja.
Lalu suara Jaehyun kembali terdengar. Rendah, nyaris seperti bisikan, namun tidak bisa disangkal keberadaannya.
"Dalam kontrak kita..." katanya pelan, "ada satu poin yang kita sepakati sejak awal."
Taeyong mengangkat kepala pelan, menoleh. Wajah Jaehyun tetap tenang, tapi tatapan matanya seperti laut dalam yang menutupi gelombang.
"Tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing," lanjut Jaehyun, masih dengan suara yang nyaris tidak berubah. "Kau ingat?"
"Aku ingat," jawab Taeyong pelan. "Aku tidak lupa."
Ia memang ingat. Kalimat itu terpatri jelas dalam benaknya. Bagian dari kesepakatan yang dulu ia pikir akan menyelamatkan segalanya tapi tanpa sadar, justru menjadi titik di mana luka akan tumbuh paling dalam.
"Dan aku tidak pernah melanggar itu." Ujar Jaehyun. Ia menoleh kini, untuk pertama kalinya menatap mata Taeyong secara langsung sejak percakapan mereka dimulai. "Aku tidak pernah bertanya... tidak pernah mencoba tahu... siapa yang kau suka, siapa yang dekat denganmu, siapa yang membuatmu tertawa di rumah sakit."
Taeyong tidak menjawab. Ia hanya menggenggam jemarinya sendiri di atas pangkuan.
Jaehyun menarik napas pelan. "Tapi malam ini... boleh aku melanggar satu kali saja?"
Taeyong menatapnya, perlahan, seperti tidak percaya akan pertanyaan itu. Tapi ia tidak mencegahnya.
Jaehyun menundukkan wajah sedikit, lalu kembali menatap dengan sorot yang begitu lelah, tapi lembut-seperti seseorang yang sudah tahu jawabannya, namun tetap memilih mendengar langsung dari orang yang ia cintai.
Jaehyun menarik napas sebelum akhirnya bertanya, suaranya pelan namun dalam, "Apa yang kau rasakan pada Mingyu?"
Pertanyaan itu meluncur seperti angin tenang di malam yang dingin. Tapi efeknya seperti badai yang membalikkan segalanya.
YOU ARE READING
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 12
Start from the beginning
