Taeyong mengikutinya beberapa detik kemudian. Duduk di sisi sofa yang sama tapi cukup memberi ruang. Jarak itu tak seberapa, mungkin hanya beberapa jengkal. Tapi malam itu, rasanya seperti mereka duduk di sisi yang berbeda dari dunia yang sama.
Mereka hanya diam. Bahkan suara detak jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya. Seolah waktu pun ikut menatap mereka, menunggu siapa yang lebih dulu bicara, siapa yang lebih dulu runtuh.
Jaehyun akhirnya membuka suara.
"Sebelum kau bicara..." ucapnya perlahan, nyaris seperti gumaman, "boleh aku tanya sesuatu lebih dulu?"
Taeyong menoleh. Pandangannya sedikit ragu, tapi ia mengangguk pelan.
Jaehyun mengalihkan pandangan sejenak lalu menatap wajah di sebelahnya, wajah yang begitu ia kenal, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Wajah yang pernah ia jaga sepenuh hati. Dan masih ia jaga, bahkan ketika itu mulai terasa seperti usaha sepihak.
"Apa... ini alasannya?" tanyanya akhirnya, suaranya lembut, terlalu lembut. "Alasan kenapa kau mulai menjaga jarak dariku beberapa hari terakhir?"
Tidak ada kemarahan dalam nada itu. Tidak ada tekanan. Tapi justru karena itulah terasa begitu menyesakkan. Kalimat yang terdengar biasa saja tapi seperti diucapkan oleh seseorang yang sedang tenggelam dan memilih diam.
Taeyong menunduk. Ia tidak menyangkal. Tidak mencoba mengelak. Hanya menarik napas, seperti mencari cara paling lembut untuk menyakiti seseorang yang tak pernah ia maksud untuk lukai.
"Aku minta maaf...." bisiknya. Suaranya nyaris tidak terdengar. Tapi cukup untuk membuat dada Jaehyun bergetar.
Jaehyun mengalihkan tatapannya ke depan. Ia mengangguk sekali. Pelan. Seolah mencoba menerima sesuatu yang tidak benar-benar ingin ia dengar.
"Jadi..." ucapnya lagi, dan kali ini ada jeda panjang sebelum kalimat berikutnya keluar. "Apa yang terjadi?"
Taeyong menatap ke bawah. Tangannya menggenggam lutut celana piyamanya. Ia menarik napas. Menahannya. Melepaskannya.
"Mingyu tahu soal pernikahan kontrak kita." Katanya akhirnya, pelan. Seolah setiap suku katanya menyayat ke luar dari tenggorokannya.
Jaehyun tidak menunjukkan reaksi besar, hanya sedikit mengangkat wajahnya dan diam. Tapi detik itu, dunia di dalam dirinya seperti berhenti. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat dan ia juga tahu bahwa kalimat berikutnya mungkin jauh lebih berat dari yang ia kira.
"Dia tidak tahu sejak awal," lanjut Taeyong. "Tapi... dia tidak sengaja mendengar saat aku bicara dengan Doyoung dan Ten beberapa waktu lalu."
Jaehyun menutup mata sebentar. Sekilas. Sejenak. Tapi cukup untuk membuat napasnya berubah.
Saat ia membuka mata lagi, sorot itu tetap sama. Penuh penerimaan tapi nyaris seperti seseorang yang rela kehilangan demi tidak membuat orang yang ia cintai merasa bersalah.
Suara Jaehyun tetap tenang saat ia akhirnya bicara. "Dan... apa dia bilang sesuatu?"
Taeyong menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Kata-kata yang akan ia ucapkan bukan yang mudah ia rangkai, karena bukan hanya kejujuran tapi juga luka yang akan ia bawa bersama tiap kalimatnya.
"Dia bilang... selama ini dia menahan perasaannya. Karena dia tahu aku menikah denganmu. Tapi setelah tahu bahwa semuanya hanya kesepakatan... dia bertanya, apakah masih ada kemungkinan."
Dan di detik itu, Jaehyun merasa seperti seseorang baru saja menarik nafasnya keluar dari tubuhnya.
Ia sudah menduga. Ia tahu sejak lama. Dari caranya Mingyu menatap Taeyong, dari bagaimana nama itu mulai muncul dalam obrolan kecil, dari cara Taeyong menyebutnya dengan nada netral tapi terlalu akrab. Tapi tetap saja, ketika dugaan itu berubah jadi kenyataan, rasanya tetap seperti hantaman telak yang tidak siap ia terima.
YOU ARE READING
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 12
Start from the beginning
