**
Beberapa hari telah berlalu sejak pernyataan itu, segalanya tidak lagi sama.
Kata-kata Mingyu masih tertinggal di kepala Taeyong seperti gema yang tak kunjung padam. Bukan karena kalimat itu terlalu mengejutkan, tapi karena ia tidak tahu bagaimana cara menanganinya. Ia tidak tahu harus merasa seperti apa.
Setiap pagi saat ia membuka mata, rasa bersalah menyambutnya lebih dulu. Dan setiap kali ia pulang ke rumah, ke tempat yang dulu terasa aman dan penuh rutinitas bersama Jaehyun, hatinya justru terasa seperti berjalan di atas lantai yang retak.
Sejak hari itu, Taeyong menjadi lebih pendiam. Ia pulang lebih lambat dari biasanya. Mengambil shift tambahan yang sebetulnya bisa ia tolak. Dan saat di rumah, ia tak lagi otomatis menyapa Jaehyun seperti dulu. Bahkan untuk sekadar duduk di ruang tengah dan berbagi cerita, rasanya menjadi hal yang sulit.
Ia menyadari semuanya. Menyadari bahwa dirinya sedang menarik diri. Menyadari bahwa ia menjaga jarak dari seseorang yang tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi justru karena itulah dadanya semakin sesak.
Karena Jaehyun tidak tahu.
Jaehyun tidak tahu bahwa ada pertanyaan yang terus-menerus berputar di kepala Taeyong. Tentang Mingyu. Tentang perasaan yang tak seharusnya tumbuh. Tentang mengapa hatinya mulai kacau dan tentang betapa ia takut menyakiti satu-satunya orang yang selama ini selalu ada untuknya… tanpa syarat.
Malam itu, Taeyong baru pulang hampir pukul sembilan. Hujan turun lagi, seperti mengulang malam-malam sebelumnya. Ia membuka pintu rumah dengan perlahan, melepaskan sepatunya dan mengintip ke arah ruang tengah.
Jaehyun ada di sana. Duduk di sofa, dengan baju rumah yang rapi dan laptop di pangkuannya. Ia menoleh sejenak saat mendengar pintu terbuka dan tersenyum kecil—senyum yang tak pernah berubah, tapi entah kenapa kini terasa menyesakkan di mata Taeyong.
“Lembur lagi?” tanya Jaehyun pelan.
Taeyong mengangguk singkat. “Tadi ada pasien yang butuh observasi tambahan.”
“Sudah makan?” Jaehyun bertanya seperti biasa. Suaranya tenang. Tak berubah.
“Sudah. Di rumah sakit.” Taeyong berjalan ke dapur, menuang air panas ke dalam gelas.
“Dengan Mingyu?”
Pertanyaan itu meluncur datar. Tidak terdengar seperti tuduhan, bahkan nyaris seperti percakapan biasa. Tapi entah kenapa, Taeyong merasa udara di dapur menjadi lebih dingin.
“Iya.”
Ia mengambil satu gelas air hangat, hanya satu, dan berjalan kembali ke arah tangga.
Dulu, tanpa diminta, ia akan selalu membawakan dua. Meletakkan satu di depan Jaehyun lalu duduk di sofa yang sama, duduk bersebelahan dan mulai menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di rumah sakit. Tentang pasien, tentang rekan kerja, bahkan tentang makanan yang tak enak di kantin. Tapi tidak malam ini atau lebih tepatnya beberapa malam terakhir.
Ia hanya membawa satu dan saat mendekati tangga, ia berkata pelan. “Aku naik duluan, ya. Kepalaku agak berat.”
Jaehyun mengangguk. “Istirahatlah.”
Langkah Taeyong pelan, tapi berat. Begitu sampai di anak tangga pertama, ia berhenti sejenak. Tidak menoleh, tapi suaranya terdengar lirih.
“Jaehyun…”
Jaehyun menoleh, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Hm?”
Taeyong menggigit bibirnya. Ada banyak kalimat yang ingin ia ucapkan. Tentang rasa bingung. Tentang rasa bersalah. Tentang bagaimana ia tidak ingin Jaehyun terluka karena sesuatu yang bahkan belum terjadi. Tapi lidahnya terlalu kelu. Semua terasa terlalu rumit untuk diletakkan dalam kata-kata.
YOU ARE READING
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 11
Start from the beginning
