“Aku…” Taeyong membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Tatapannya berpindah ke jari-jarinya yang saling menggenggam erat. “…aku tidak tahu harus menjawab bagaimana.”

Mingyu tidak terlihat kecewa, tapi ekspresinya jelas menegas. Mungkin itu memang jawaban yang ia duga akan keluar. Tapi tetap saja, mendengarnya langsung memberi dampak yang berbeda.

“Aku tidak bermaksud mendesak,” katanya pelan. “tapi… aku tidak bisa berpura-pura tidak merasa apa-apa juga.”

Taeyong menoleh pelan menatapnya.

Mingyu menunduk sesaat sebelum kembali menatap mata Taeyong, sorotnya jujur dan terbuka. “Sejak pertama kali bekerja denganmu, aku menyadari bahwa aku menyukaimu, Taeyong. Aku menahannya karena aku tahu kau sudah menikah. Aku menghargai itu dan aku mencoba menjaga batas.”

Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi setelah tahu kenyataan bahwa semuanya hanya kontrak… aku mulai bertanya-tanya. Apakah… aku masih punya kesempatan? Untuk menjadi seseorang yang sungguh-sungguh ada di hatimu, bukan hanya sebagai rekan kerja?”

Kata-katanya tidak meledak. Justru terdengar lembut, terlalu lembut bahkan, dan karena itu yang lebih berbahaya.

Taeyong terpaku, dadanya sesak oleh sesuatu yang bahkan tidak bisa ia definisikan. Kepalanya ramai, tapi mulutnya bisu. Ia tidak marah tapi juga tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Mingyu tidak memaksakan jawaban. Ia hanya menatap, menunggu dan saat keheningan menjadi terlalu panjang, ia akhirnya beranjak dari kursinya.

“Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,” katanya sembari berdiri. “Aku hanya… ingin jujur. Setelah ini aku tidak akan mengganggumu soal ini lagi, kecuali kau sendiri yang memberi ruang.”

Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Taeyong dengan kepala yang semakin penuh dan hati yang mulai merasakan gejolak yang tidak seharusnya ada sejak awal.

Setelah Mingyu meninggalkan ruangan, Taeyong masih tetap duduk di tempatnya. Ruang istirahat itu perlahan kembali sepi tapi di kepala Taeyong, keramaian baru saja dimulai.

Ia tidak menyangka bahwa Mingyu dengan semua sikap tenangnya, dengan perhatian halus yang selalu diberikan tanpa berlebihan, menyimpan perasaan sedalam itu. Dan yang lebih membuat napasnya terasa berat adalah… pertanyaan yang Mingyu tinggalkan,
'Apakah aku masih punya kesempatan?'

Taeyong memejamkan matanya sejenak.

Ia mencoba mengingat apa yang sebenarnya ia rasakan. Apa benar selama ini ia hanya menganggap Mingyu sebagai rekan kerja? Lalu kenapa sekarang, setiap kali nama Mingyu disebut, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya? Kenapa ia mulai memperhatikan hal-hal kecil, seperti bagaimana cara Mingyu tersenyum, bagaimana tenangnya ia saat menghadapi pasien atau bagaimana suara Mingyu terdengar di telinganya lebih ramah dari siapapun?

Dan lebih dari itu, kenapa… saat Mingyu bertanya apakah ia dan Jaehyun saling mencintai, Taeyong tidak bisa menjawab?

Kebisuan yang mengikutinya membuat Taeyong merasa bersalah. Pada Jaehyun, pada dirinya sendiri dan pada segala sesuatu yang selama ini ia jaga agar tetap berada dalam jalur yang aman.

Padahal semua ini harusnya hanya tentang kontrak, peran dan janji yang tidak pernah melibatkan hati. Tapi sekarang?

Taeyong merasa semuanya perlahan kehilangan bentuk.

Ia menarik napas panjang dan berdiri, meninggalkan ruangan dengan langkah yang sedikit lebih lambat. Dadanya terasa sesak.

Goyah.
Untuk pertama kalinya… ia mulai merasa goyah.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now