Tapi mereka tidak memaksa. Tidak hari ini.

Yuta akhirnya berkata, “Kalau kau butuh istirahat, katakan saja. Atau butuh bicara, apa pun itu. Kau tidak harus menyimpan semuanya sendiri.”

Jaehyun menunduk sedikit, lalu mengangguk pelan. “Aku tahu. Terima kasih, sungguh. Tapi sekarang ini… aku masih bisa menahannya.”

Johnny bangkit dari duduknya, menepuk bahu Jaehyun dengan ringan. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama menahannya sendiri. Kami tetap di sini kalau kau siap bicara.”

Yuta menyusul Johnny, lalu sebelum keluar, ia sempat menoleh sekali lagi. “Kalau sesuatu mulai terasa berat, jangan berpura-pura kau bisa menanggungnya selamanya.”

Pintu kembali tertutup.

Dan di dalam ruangan itu, Jaehyun kembali sendiri dengan pikirannya.

**

Di sisi lain kota Seoul Taeyong sedikit lebih sibuk. Setelah kunjungan pasien pagi dan menangani beberapa pasien di poliklinik, ia sempat kembali ke ruangannya untuk mengambil catatan medis sebelum kemudian suara ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh.

“Masuk.” Ucap Taeyong, dan seperti yang sudah bisa ia tebak, sosok tinggi dengan jas dokter dan senyum lebar muncul di ambang pintu.

“Sepertinya aku mulai punya insting kapan kau punya waktu luang.” kata Mingyu santai sambil menyandarkan tubuhnya di kusen pintu.

Taeyong hanya tersenyum samar. “Kau lagi-lagi membacaku dengan tepat.”

Mingyu berjalan masuk dan duduk di kursi kosong di seberang meja. “Kita ada jadwal tinjauan kasus pasien jantung bawaan sore ini. Sebelumnya aku sempat diskusi dengan tim bedah dan kurasa kau perlu ikut.”

“Baik,” jawab Taeyong sambil membalik-balik berkasnya. “Kau tahu, aku mulai curiga kau ini sengaja menjadwalkan semuanya agar aku tidak jauh darimu.”

Mingyu terkekeh. “Apa itu terdengar terlalu jelas? Tapi jujur, kau bekerja dengan sangat baik, Taeyong. Dan aku senang bisa punya partner seperti kau. Kita saling menyeimbangkan.”

Taeyong menatap pria di hadapannya. Kalimat itu terdengar tulus dan untuk sepersekian detik, ia merasa nyaman. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tetap membuat jarak, bukan karena Mingyu, tapi karena seseorang yang sudah terlalu lama tinggal di ruang hati paling dalam meski ia tak pernah mengakuinya.

“Terima kasih, Mingyu. Aku juga merasa terbantu bekerja bersamamu.” Balasnya pelan.

“Ngomong-ngomong…,” Mingyu menyilangkan tangan di depan dada dan sedikit mencondongkan tubuh. “aku belum sempat tanya... bagaimana rasanya jadi pengantin baru?”

Pertanyaan itu membuat Taeyong terdiam sesaat. Ia tidak tahu harus menjawab dengan versi yang mana, versi dunia yang tahu atau versi hatinya sendiri.

Akhirnya ia mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. “Rasanya... cukup baru.”

“Cukup?” tanya Mingyu, matanya sedikit menyipit, mencoba membaca lebih dalam tapi Taeyong dengan cepat mengalihkan pandangan dan berdiri.

“Kita ke ruang rapat sekarang?” potongnya cepat, dan Mingyu hanya mengangguk, tak mendesak lebih jauh.

Keduanya pun melangkah keluar ruangan, menyusuri lorong rumah sakit yang mulai ramai dengan lalu-lalang staf medis dan pasien.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now