Taeyong membalas dengan senyum kecil. “Terima kasih, Tuan CEO.”
Ia membuka pintu mobil, turun, lalu membungkuk sedikit ke arah Jaehyun sebelum melangkah pergi.
Jaehyun tidak langsung pergi. Ia tetap duduk di kursi pengemudi, memandangi punggung Taeyong yang semakin menjauh. Kebiasaan lama yang belum bisa ia hentikan, menunggu sampai sosok itu benar-benar menghilang dari pandangan.
Tapi pagi ini berbeda.
Baru beberapa langkah Taeyong melangkah ke arah lobi rumah sakit, seorang pria tinggi muncul dari sisi lain parkiran. Langkahnya santai tapi yakin. Di tangannya ada dua gelas kopi, dan salah satunya dengan mudah diberikan kepada Taeyong dengan senyum ramah. Taeyong terlihat sedikit terkejut tapi menerimanya dengan senyum yang tidak kalah hangat. Mereka berbicara sebentar. Ringan. Seperti sudah terbiasa.
Jaehyun masih diam di balik kemudi.
Tatapannya tertahan di dua orang itu, suaminya dan pria baru yang kini terlihat begitu nyaman berdiri di sampingnya.
Seketika, dadanya terasa sesak. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri tapi kedua tangannya secara refleks mencengkram setir dengan erat. Terlalu erat, seperti mencoba menahan sesuatu dalam dirinya agar tidak tumpah.
Setelah beberapa detik, akhirnya ia mengalihkan pandangannya, menyalakan mesin mobil dan melaju pergi dari sana.
Jaehyun mengendarai mobilnya menuju kantor tanpa berkata apa-apa. Tidak ada musik yang mengalun dari speaker mobil, tidak ada panggilan masuk yang ia jawab. Hanya suara mesin dan putaran pikirannya sendiri yang memekakkan.
Ia datang lebih awal dari biasanya. Meja kerjanya sudah rapi, tirai jendela sudah terbuka menyambut cahaya matahari yang masuk dengan leluasa, tapi tidak ada yang mampu menenangkan hati yang sedang tidak tentu arah. Beberapa kali ia menghela napas, beberapa kali pula ia mencoba memusatkan perhatian pada layar laptop di hadapannya. Tapi setiap kali ia mencoba, satu nama yang sama selalu mengganggu pikirannya—Kim Mingyu.
Ia ingin berpikir semuanya hanya kebetulan. Ia ingin percaya bahwa ini semua hanya kerja profesional dan tidak lebih. Tapi perasaan tidak pernah bisa dibohongi. Dan bagi Jaehyun, perasaan itu mulai membentuk keraguan yang tak bisa ia tolak begitu saja.
Dan saat pikirannya makin berisik, dua ketukan pelan di pintu ruangannya membuka babak baru dari hari yang sama beratnya.
Pintu ruangannya terbuka pelan. Johnny masuk lebih dulu tanpa mengetuk, diikuti Yuta yang menutup pintu rapat dari belakang.
“Kau kelihatan seperti baru melewati seminggu di medan perang.” Celetuk Johnny sambil menjatuhkan diri ke sofa di sisi ruangan.
Yuta tidak berkata banyak, hanya berdiri sambil melipat tangan di dada, menatap Jaehyun lekat-lekat. “Apa kau baik-baik saja?”
Jaehyun mengangkat kepalanya pelan, menyambut tatapan mereka dengan senyum tipis yang lebih terlihat seperti usaha untuk tetap kuat daripada ekspresi bahagia.
“Aku baik-baik saja.” jawabnya singkat, suaranya sedikit serak.
Johnny mengangkat alis. “Itu kalimat yang sama yang selalu kau pakai saat kau sebenarnya tidak baik-baik saja.”
Yuta ikut duduk di sisi sofa, kali ini lebih tenang. “Ada masalah dengan Taeyong?”
Sekilas, sorot mata Jaehyun berubah. Tapi hanya sebentar lalu kembali meredam segalanya dalam kendali dingin yang sudah terlalu sering ia latih.
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya lelah. Beberapa minggu terakhir cukup padat, itu saja.”
Johnny saling pandang dengan Yuta. Mereka tahu, Jaehyun adalah orang yang paling pandai menyimpan perasaan. Tapi mereka juga tahu, bahasa tubuh Jaehyun tidak bisa berbohong—bahu yang sedikit menurun, tatapan yang sering kosong dan jemari yang menekan-nekan pena tanpa sadar.
ESTÁS LEYENDO
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 10
Comenzar desde el principio
