Nama itu. Lagi-lagi nama itu.

“Belakangan kau sering pulang larut.” Suara Jaehyun terdengar datar, tapi tak sepenuhnya hambar. “Operasi sedang padat, ya?”

Taeyong mengangguk kecil. “Lumayan. Apalagi sejak Mingyu datang, sebagian besar operasi kardiopediatri melibatkan dia dan entah kenapa kami sering ditempatkan dalam tim yang sama. Dia juga suka mengajakku ikut observasi atau membantu pasien. Aku tidak keberatan sih, toh memang bagianku juga.”

Jaehyun tidak langsung menjawab. Pandangannya kembali ke cangkir yang ia genggam. Tangan kirinya menelusuri bagian sampingnya perlahan, seperti mencoba menenangkan kegelisahan dalam dirinya.

“Kalau sudah terlalu padat, jangan paksakan. Kau bisa minta rotasi dengan dokter lain.”

“Aku tahu batasku.” Jawab Taeyong, mencoba tersenyum. “Lagipula, aku suka kerja sama dengan Mingyu. Dia… sangat kompeten.”

Tapi Jaehyun hanya menjawab dengan gumaman ringan. “Jangan terlalu sering melewatkan makanmu.”

“Aku baik-baik saja.” Ujar Taeyong, menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan mata. “Besok aku tidak ada jadwal operasi. Mungkin bisa makan siang dengan tenang.”

“Dengan Mingyu?” tanya Jaehyun, nadanya terdengar netral. Terlalu netral.

Taeyong membuka matanya dan menoleh pelan ke arah Jaehyun. “Tidak tahu, mungkin. Kalau jadwalnya tidak berubah.”

Hening kembali menggantung di antara mereka. Lembut tapi panjang. Taeyong melirik ke arah cangkir kopi yang tak tersentuh di tangan Jaehyun.

“Kopimu sudah dingin.” Katanya.

Jaehyun hanya tersenyum kecil. “Sejak tadi.”

Taeyong menatap wajah sahabatnya itu dalam diam. Ada lelah di sana, bukan lelah fisik tapi seperti sesuatu yang mengendap pelan-pelan dan sulit diurai. Sejak kapan sorot mata Jaehyun berubah jadi setenang ini? Setenang air yang tidak lagi menunjukkan riaknya.

“Kau kenapa?” Tanya Taeyong akhirnya.

“Tidak apa-apa.”

“Jaehyun…”

Jaehyun akhirnya menoleh dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Terlalu lama. Terlalu dalam. Dan terlalu sunyi. Taeyong merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

“Aku hanya berpikir,” ujar Jaehyun akhirnya, suaranya rendah. “tentang hari-hari ke depan.”

Taeyong mengangguk pelan. Ia tahu maksud Jaehyun, tapi pura-pura tidak tahu. Ia terlalu takut membiarkan hatinya terlalu dekat dengan kejujuran yang mungkin akan menghancurkan keduanya.

Tangan Jaehyun bergerak meraih remote TV di meja, menyalakan saluran berita malam hanya untuk membunuh hening yang terasa semakin menyesakkan.

“Kau ingin makan sesuatu?” Tanya Jaehyun kemudian. “Masih ada sup yang kubuat tadi sore.”

Taeyong mengangguk kecil. “Boleh. Tapi kau temani aku makan, ya.”

Jaehyun berdiri, mengangguk pelan sambil beranjak ke dapur. “Tentu.”

Taeyong memperhatikan punggung Jaehyun yang menjauh beberapa langkah. Ia menunduk sebentar, menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Entah kenapa, senyum yang muncul di wajahnya tidak terasa ringan. Karena untuk pertama kalinya, ia menyadari… ada sesuatu dalam diri Jaehyun yang perlahan berubah dan itu membuat ruang di antara mereka tidak lagi terasa seperti dulu.

**

Mangkuk-mangkuk sup kosong kini sudah tertata rapi di atas meja makan. Jaehyun membereskan sendok terakhir sambil mengelap permukaan meja dengan lap hangat. Taeyong hanya memperhatikannya dari tempat duduk, menyandarkan dagu di atas tangan yang terlipat di atas meja.

Between The Lines (JAEYONG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang