Jaehyun mematung. Ia tidak tahu harus ke mana meletakkan tatapannya selain pada sosok itu, seseorang yang sudah ia cintai diam-diam selama bertahun-tahun, kini berjalan pelan menuju dirinya, di hadapan keluarga dan sahabat mereka. Semua tawa kecil, semua canda yang mereka bagi, kini terasa seperti kilas balik yang menusuk.

Langkah Taeyong terasa lambat, tapi pasti. Wajahnya tenang tapi Jaehyun bisa membaca sedikit kegugupan dari cara ia menggenggam lengan sang ayah. Entah karena tegang, takut atau mungkin keduanya. Tapi matanya tak lepas dari Jaehyun, tatapan yang sulit ditebak tapi tidak bisa diabaikan.

Sampai akhirnya, mereka berdiri berhadapan. Appa Taeyong menoleh ke Jaehyun, lalu menggenggam tangan putranya dan menyerahkannya ke Jaehyun. Ia tidak langsung melepas, melainkan menatap Jaehyun dalam-dalam sebelum berkata dengan suara pelan namun jelas.

“Jagalah dia baik-baik, seperti yang sudah kau lakukan sejak kalian masih anak-anak. Aku tahu aku menyerahkannya pada orang yang tepat.”

Jaehyun hanya mampu mengangguk. Tenggorokannya terasa berat. Satu sisi dalam dirinya ingin menolak semua ini, ingin mengatakan bahwa ini hanya kesepakatan... tapi sisi lain, sisi yang selama ini mencintai Taeyong dalam diam, tidak bisa berhenti berharap, walau sedikit saja, bahwa semua ini nyata.

Setelah ayah Taeyong kembali ke tempat duduknya, ruangan menjadi tenang. Semua mata tertuju pada dua pria yang kini berdiri berdampingan di altar, di hadapan seorang pendeta berusia paruh baya dengan wajah ramah dan suara menenangkan.

Pendeta membuka Alkitab, lalu menatap keduanya.

“Saudara Jung Jaehyun dan Lee Taeyong,” katanya pelan, “hari ini kalian berdiri di hadapan Tuhan, keluarga dan sahabat terdekat untuk mengikat janji suci pernikahan. Pernikahan bukan sekadar penyatuan dua insan tapi sebuah perjanjian kudus di hadapan Tuhan.”

Hening sesaat. Hanya detak jantung Jaehyun dan Taeyong yang saling bersahutan dalam dada masing-masing.

Pendeta melanjutkan. “Aku akan bertanya dan jawablah dengan keyakinan.”

Ia menoleh ke Jaehyun terlebih dahulu.

“Jung Jaehyun, bersediakah kau menerima Lee Taeyong sebagai pasangan hidupmu, untuk mencintainya, menghormatinya, menjaganya dalam suka maupun duka, dalam kelimpahan maupun kekurangan, dalam sehat maupun sakit, setia kepadanya sepanjang hidupmu?”

Jaehyun menatap Taeyong, lalu menjawab tegas. “Aku bersedia.”

Pendeta mengangguk dan beralih pada Taeyong.

“Lee Taeyong, bersediakah kau menerima Jung Jaehyun sebagai pasangan hidupmu, untuk mencintainya, menghormatinya, menjaganya dalam suka maupun duka, dalam kelimpahan maupun kekurangan, dalam sehat maupun sakit, setia kepadanya sepanjang hidupmu?”

Taeyong menelan ludah perlahan, matanya sempat berkedip cepat seolah berusaha memproses semuanya yang terasa begitu cepat dan besar. Namun akhirnya ia mengangguk kecil dan menjawab. “Aku bersedia.”

Pendeta lalu tersenyum. “Sekarang, mari saling mengucapkan janji.”

Johnny, dari deretan depan, menyerahkan dua kartu kecil berisi janji pernikahan pada petugas, yang kemudian diserahkan kepada masing-masing mempelai.

Jaehyun lebih dulu membaca.

“Aku, Jung Jaehyun, berjanji di hadapan Tuhan dan semua saksi di sini, untuk menjadi pasangan hidupmu, Lee Taeyong. Aku akan mencintaimu tanpa syarat, menghormatimu, mendampingimu dan setia padamu dalam segala keadaan, sepanjang hidupku.”

Taeyong menyusul dengan suara sedikit bergetar.
“Aku, Lee Taeyong, berjanji di hadapan Tuhan dan semua saksi di sini, untuk menjadi pasangan hidupmu, Jung Jaehyun. Aku akan mencintaimu tanpa syarat, menghormatimu, mendampingimu dan setia padamu dalam segala keadaan, sepanjang hidupku.”

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now