Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Jaehyun turun dari mobil dan berjalan melewati lobi apartemen. Hatinya berdegup tidak karuan, seperti baru saja akan mengakui cinta pertamanya. Padahal ini lebih rumit dari itu. Ini bukan pengakuan cinta. Ini... kesepakatan yang tidak seharusnya terjadi tapi terjadi juga.
Beberapa menekan bel dan tidak lama kemudian, daun pintu terbuka, menampilkan sosok Taeyong yang berdiri di ambang. Mengenakan kaus abu dan celana pendek, rambutnya sedikit berantakan seperti baru bangun tidur.
“Jaehyun?” Gumamnya, sedikit terkejut. “Aku pikir kau ke kantor.”
“Tidak.” Sahut Jaehyun singkat. “Boleh aku masuk?”
Taeyong langsung menyingkir dari pintu, memberi jalan. “Tentu.”
Begitu masuk, Jaehyun langsung melangkah ke ruang tengah dan duduk di sofa. Taeyong menyusul beberapa detik kemudian, duduk di sisi yang sama. Sunyi menyelimuti ruangan untuk waktu yang terlalu lama, sebelum akhirnya Jaehyun angkat bicara lebih dulu.
“Aku sudah memikirkannya.”
Taeyong menoleh, tapi tidak mengatakan apa pun.
“Aku tidak pernah menyangka semuanya akan sejauh ini. Aku kira... kita hanya perlu sedikit meyakinkan orang tuamu, membuat mereka percaya lalu pelan-pelan kita bisa akhiri semua ini tanpa melukai siapa pun.”
Taeyong menunduk, bermain dengan ujung kausnya.
“Tapi ternyata semua jauh lebih besar dari yang kita rencanakan.” Lanjut Jaehyun.
“Dan sekarang kita ada di titik... di mana tidak ada jalan lain selain maju.”
“Lalu?” suara Taeyong akhirnya terdengar, pelan. “Apa keputusanmu?”
Jaehyun memandang wajah Taeyong lama, sangat lama, seolah berusaha mengukir setiap detailnya di ingatan.
“Aku akan melakukannya.”
Taeyong terdiam. Sorot matanya sulit dibaca, seperti tidak yakin harus merasa lega atau bersalah. “Kau... sungguh?”
“Aku tidak pernah yakin tentang ini. Tapi aku tahu satu hal, Tae... aku tidak pernah bisa mengatakan tidak padamu.”
Kalimat itu menghantam seperti tamparan halus. Taeyong menatap Jaehyun dalam diam, lalu mengalihkan pandangannya. Ada rasa perih yang menyusup di dada tapi juga rasa hangat aneh yang sulit dijelaskan.
“Terima kasih, Jaehyun...” Ucapnya nyaris tak terdengar.
Jaehyun hanya mengangguk pelan.
Keheningan menggantung di antara mereka. Keduanya tidak bicara cukup lama, seolah sedang memberi ruang untuk napas mereka yang masih terasa berat sejak percakapan terakhir. Taeyong menyandarkan tubuhnya ke sofa, sementara Jaehyun menatap kosong ke meja kopi di depan mereka. Ada banyak yang ingin dikatakan tapi semua terasa terlalu rumit untuk diurai.
Hingga akhirnya, Jaehyun membuka suara.
“Kalau memang kita akan melakukannya…” Katanya pelan, tapi terdengar jelas.
Taeyong menoleh.
“...lebih baik kita atur sekarang. Buat kesepakatan yang jelas. Agar tidak ada yang salah paham nanti.” Jaehyun menatap Taeyong penuh makna.
Taeyong terdiam, lalu mengangguk. “Baik. Aku setuju.”
Jaehyun meraih ponsel dari sakunya, membuka aplikasi catatan. Ia mulai mengetik dan sesekali melirik ke arah Taeyong. “Kontrak ini... hanya antara kau dan aku.”
Taeyong mengangguk lagi.
“Pernikahan akan tetap dilaksanakan sesuai adat dan legalitas. Kita akan tinggal bersama... paling tidak, untuk beberapa waktu, sampai cukup meyakinkan semua orang.”
“Kira-kira berapa lama?” Tanya Taeyong pelan.
Jaehyun berpikir sebentar. “Enam bulan. Lalu... setelah itu, kita bisa pelan-pelan memberi sinyal bahwa hubungan ini mulai renggang dan akhirnya berpisah dengan alasan yang masuk akal. Bukan konflik besar, bukan pertengkaran. Hanya... perbedaan visi atau kesibukan.”
Taeyong menelan ludah. Rasanya tidak enak, meski dari awal ini idenya sendiri.
“Aku akan tanggung semua biaya persiapan, pernikahan, tempat tinggal. Kau tidak perlu khawatir soal itu.” Lanjut Jaehyun lagi, nadanya datar.
“Tidak, Jaehyun. Bagian itu harus kita bagi dua. Ini keputusan bersama dan aku tidak mau bergantung padamu.”
Jaehyun menatapnya beberapa detik. “Biarkan aku melakukannya, bisakah?”
Taeyong menatap balik Jaehyun cukup lama sampai akhirnya mengangguk pelan.
Perjanjian itu terus disusun, kalimat demi kalimat. Di sore menjelang malam itu, mereka berdua menuliskan aturan atas sesuatu yang seharusnya suci, pernikahan yang sejak dulu mereka yakini sebagai janji seumur hidup tapi hari ini mereka tulis dalam bentuk syarat dan batas, dengan akhir yang sudah ditentukan sejak awal: perpisahan.
Taeyong menatap layar ponsel yang kini ada di genggaman Jaehyun. Lalu menatap Jaehyun sendiri, dalam-dalam. “Kalau nanti... salah satu dari kita merasa ini terlalu berat... kita bisa berhenti, bukan?”
Jaehyun mengangguk kecil, meski dalam hati ia tahu, ia tidak akan pernah bisa berhenti lebih dulu. Tidak saat yang ia perjuangkan adalah seseorang yang diam-diam sudah menjadi pusat dunianya sejak lama.
Dan kini ia harus menikahi orang itu, bukan untuk mencintai tapi untuk berpura-pura.
Sore itu, mereka tidak sadar bahwa mereka baru saja menciptakan luka yang akan tumbuh dalam diam. Bukan karena kebencian. Tapi karena cinta yang tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi nyata.
***
¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.