“Aku tahu.” Jawab Taeyong cepat.
“Tapi aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi…”

Ten dan Doyoung saling pandang lagi. Mereka tahu, ucapan apapun sekarang tidak akan cukup untuk membatalkan semua yang sudah terucap. Tapi mereka juga tahu, ini baru awal dari jalan yang jauh lebih rumit.

Sementara itu di sisi lain.

Jaehyun memutar gelas kopi yang sejak tadi belum disentuhnya. Ia duduk di meja makan apartemennya sendiri, lampu ruang hanya menyala separuh, menyisakan bayangan samar di sisi wajahnya. Di hadapannya terbuka layar laptop yang menampilkan dokumen kerja, tapi matanya tidak fokus ke sana.

Pikirannya masih tertinggal di malam kemarin. Wajah kedua orang tuanya yang bersinar penuh harapan, tangan Taeyong yang hangat di punggungnya dan kalimat yang keluar dari mulut Taeyong tentang pernikahan kontrak.

Pernikahan. Kontrak.

Dua kata yang tidak seharusnya berada dalam satu kalimat, menurut Jaehyun.

Ia bersandar ke kursi, mengusap wajahnya perlahan. Otaknya tahu ini seharusnya ditolak sejak awal tapi hatinya... hatinya bahkan tidak pernah bisa menolak Taeyong.

Suara notifikasi ponsel menarik perhatiannya. Pesan dari Eomma.

‘Eomma baru saja berbicara dengan ibu Taeyong. Kami semua akan mulai mendata kebutuhan dasar untuk pernikahan kalian ya. Tidak perlu mewah, yang penting hangat dan khidmat.’

Jaehyun mengatup rahangnya. Tidak ada ruang untuk berpikir ulang. Kedua keluarga sudah berjalan terlalu jauh.

Ia bangkit dari kursi, melangkah ke arah jendela besar apartemennya yang menghadap ke kota. Lampu-lampu gedung memantul di matanya yang kosong.

“Ini gila...” Gumamnya.

Tapi apakah lebih gila daripada perasaannya yang selama ini dipendam? Perasaan yang hanya ia tahu sendiri sejak bertahun-tahun lalu? Perasaan yang ia simpan rapi karena takut menghancurkan semuanya?

Mungkin... dibanding kehilangan Taeyong, menjalani pernikahan kontrak bukan pilihan paling buruk.

Jaehyun memejamkan mata, menahan napas sejenak, lalu menghembuskannya perlahan.

“Kalau aku tidak bisa memilikinya sungguhan… mungkin ini satu-satunya cara agar dia tetap di sisiku, meskipun hanya sementara.”

Matanya terbuka kembali. Kali ini lebih tenang. Lebih pasrah.

Ia tahu ini akan menyakitkan. Tapi ia juga tahu, ia tidak pernah benar-benar bisa menolak Taeyong. Tidak sejak dulu. Tidak sekarang.

Dan mungkin... tidak akan pernah.

**

Hujan turun perlahan sore itu. Tidak deras, hanya gerimis tipis yang cukup membuat jendela mobil Jaehyun dipenuhi titik-titik air. Ia duduk diam di balik kemudi, memandangi gedung apartemen yang berdiri tegak di depannya. Tangannya mengepal di atas setir, lalu perlahan melemas saat ia menghela napas berat untuk yang entah keberapa kali sejak ia memutuskan akan datang ke sini.

Ia sudah membuat keputusannya. Setelah berjam-jam berpikir sendiri di dalam ruang yang sunyi, suara hati akhirnya menang. Dan mungkin memang selalu menang ketika itu menyangkut satu nama, Lee Taeyong.

Between The Lines (JAEYONG)Место, где живут истории. Откройте их для себя