“Apa kau masih yakin dengan semua ini?” Nada suara Jaehyun tetap tenang tapi ada sesuatu di baliknya yang terdengar retak.

Butuh beberapa detik sebelum Taeyong menjawab.
“Aku harus. Kita sudah terlalu jauh untuk mundur, kan?”

Jaehyun memejamkan mata. Ia tahu itu benar. Mereka memang sudah terlalu jauh. Tapi itu bukan berarti hatinya siap.

“Baik. Nanti aku kabari jamnya. Aku akan menjemputmu.”

“Oke.”

Klik.

Telepon ditutup. Jaehyun menurunkan ponsel dan bersandar ke kursi kerjanya. Ia tidak tahu sampai kapan bisa memainkan peran ini dengan tenang. Tapi malam ini, ia akan kembali tersenyum di depan orang-orang yang paling ia hormati… sambil menahan rasa bersalah yang kian menumpuk.

Tidak berselang lama, suara ketukan terdengar pelan dari balik pintu ruangan Jaehyun. Tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang tengah ia bolak-balik, Jaehyun bersuara pelan.

“Masuk.”

Pintu terbuka, menampilkan sosok Yuta yang melongok ke dalam dengan alis terangkat.

“Aku dengar dari staf, kau sudah di kantor sejak siang. Kupikir kau masih libur hari ini.” Ucapnya sambil masuk dan menutup pintu di belakangnya.

Jaehyun tidak langsung menjawab. Tangannya terus menyusun ulang dokumen di mejanya, meski jelas dari sorot matanya bahwa pikirannya tidak benar-benar di sana.

“Kenapa kau ke sini?” Yuta mendekat, kini bersandar di sisi meja Jaehyun.

“Aku tidak tahu harus ke mana.” Jawab Jaehyun akhirnya, suaranya rendah. “Kalau aku tetap di rumah, aku hanya akan memikirkan semua ini terus-menerus.”

Yuta menatap temannya lekat-lekat. “Jadi, kau memutuskan untuk mengurung diri dengan tumpukan laporan perusahaan agar tidak memikirkan soal Taeyong?”

Jaehyun akhirnya mendongak, menatap Yuta. Pandangannya tenang di permukaan, tapi lelah tergambar jelas di baliknya.

“Setidaknya kertas-kertas ini tidak akan bertanya kapan aku akan menikah.”

Yuta terkekeh kecil lalu duduk di kursi seberang. “Tapi kau tahu, bukan itu intinya.”

“Aku tahu.” potong Jaehyun cepat. “Aku tahu ini semua hanya sementara. Tapi saat mereka menyambutku seperti itu, saat mereka percaya penuh padaku... Aku merasa seperti orang jahat.”

Yuta mengangguk pelan. “Karena kau peduli.”

“Aku selalu peduli,” gumam Jaehyun, lebih kepada dirinya sendiri. “dari dulu.”

Yuta tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, membiarkan keheningan mengendap di antara mereka.

Lalu, dengan nada pelan, ia berkata.
“Kalau semua ini mulai terasa terlalu berat, jangan berpura-pura baik-baik saja. Aku tidak akan menyuruhmu berhenti... tapi aku harap, kalau kau terluka, kau tidak menanggungnya sendirian.”

Jaehyun menunduk sebentar sebelum mengangguk pelan. “Terima kasih.”

Yuta berdiri, menepuk pelan bahu Jaehyun. “Aku di luar jika kau butuh sesuatu.”

Setelah Yuta keluar dan pintu kembali tertutup, Jaehyun menyandarkan tubuh ke sandaran kursinya. Ia menatap langit-langit sebentar, sebelum mengalihkan pandangan ke ponsel yang masih tergeletak di meja.

Dan tiba-tiba, dunia yang sudah rumit terasa lebih sempit.

**

Jaehyun bersandar santai di samping mobilnya yang terparkir rapi di tepi jalan depan gedung apartemen Taeyong. Kemeja putih yang ia kenakan malam itu sudah cukup membuatnya terlihat berkelas tapi sorot matanya menampilkan sesuatu yang berbeda, gelisah yang ditutupi rapat-rapat.

Between The Lines (JAEYONG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang