“Mana mungkin, Appa.” Ujar Jaehyun sambil membungkuk sopan. “Aku malah merasa seperti pulang ke rumah sendiri.”

“Memang ini rumahmu juga. Kalian cepatlah masuk, ayo.”

Taeyong dan Jaehyun masuk ke dalam rumah, disambut aroma kayu manis dan teh hangat, aroma yang tak pernah berubah sejak mereka kecil. Mereka duduk di ruang tamu. Eomma langsung sibuk ke dapur, sementara Appa duduk di kursi panjang, menatap Jaehyun dengan wajah penuh kebapakan.

“Jadi, bagaimana kabar perusahaan? Aku dengar dari ayahmu kalau kau baru saja mengurus ekspansi ke luar negeri.”

Jaehyun mengangguk. “Iya, Appa. Beberapa bulan terakhir ini cukup padat. Tapi semua masih bisa ku tangani.”

“Kau selalu bisa diandalkan sejak kecil. Pasti ayah dan ibumu bangga sekali.” Ujar Appa sambil tersenyum.

Jaehyun tersenyum kecil. “Mereka baik-baik saja. Eomma sering menyebutkan kalau beliau ingin main ke Busan, katanya rindu sekali bicara dengan Eomma.”

Eomma yang baru keluar membawa nampan dengan dua cangkir the langsung menimpali, “Aigoo, sampaikan salamku untuk Eomma-mu, ya. Kalau kalian ke sini lagi, bawa mereka sekalian.”

“Nanti kusampaikan, Eomma. Mereka pasti senang sekali dengar itu.”

Taeyong hanya memperhatikan percakapan itu dengan diam dan senyum yang sedikit pudar. Hatinya hangat, tapi sekaligus juga berat. Karena di tengah tawa dan keramahan itu, ada kebohongan besar yang sebentar lagi harus ia ucapkan.

Setelah beberapa canda ringan, suasana perlahan mulai mereda. Teh sudah hampir habis di cangkir mereka. Appa menyandarkan punggung ke sofa, lalu melirik ke arah Taeyong yang dari tadi lebih banyak diam.

“Kau kelihatan lelah, Nak. Ada apa?”

Taeyong menatap sekilas ke arah Jaehyun, lalu menunduk sedikit, menggenggam kedua tangannya di pangkuan.

“Sebenarnya… ada yang ingin aku sampaikan.”

Jaehyun menahan napas perlahan. Rasanya ruangan itu mendadak jadi sempit.

Dan kebohongan yang selama ini hanya ada dalam rencana… kini tinggal satu kalimat lagi untuk menjadi kenyataan.

Keheningan sempat mengisi ruangan beberapa detik. Taeyong menggenggam jemarinya erat-erat, mencoba menyusun kalimat yang sudah berputar-putar di kepalanya sejak semalam.

Appa masih menatapnya penuh perhatian. “Apa yang ingin kau sampaikan, Taeyong-ah?”

Taeyong mengangkat kepalanya perlahan. Tatapannya beralih dari Appa ke Eomma, lalu kembali ke Appa lagi. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya membuka suara.

“Aku tahu… kemarin aku kembali ke Busan bukan hanya untuk menengok kalian, tapi karena kalian ingin mengenalkanku pada seseorang.”

Eomma dan Appa saling melirik tapi tak menyela. Mereka membiarkan putra mereka berbicara.

“Aku tahu… maksud kalian baik. Aku tahu kalian khawatir karena aku belum pernah membawa siapa pun dalam hidupku. Dan aku tidak marah soal itu.” Suara Taeyong mulai bergetar halus, tapi masih bisa dikendalikan. “Tapi, aku tidak bisa menerima perjodohan itu, Eomma, Appa. Aku tidak bisa.”

Appa mendesah pelan, seperti sudah menduga arah pembicaraan ini.

“Taeyong-ah…” Eomma mulai membuka suara tapi Taeyong mengangkat tangannya sedikit, meminta waktu untuk menyelesaikan ucapannya.

“Aku tidak datang ke sini untuk berdebat. Aku datang… karena aku ingin menunjukkan sesuatu pada kalian.”

Ia menoleh ke samping. Ke arah Jaehyun.

Between The Lines (JAEYONG)Where stories live. Discover now