Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
Jaehyun hanya diam, menatap lelaki di hadapannya dengan hati yang mulai terasa berat.
Karena ia tahu... Kebohongan kecil ini akan menuntunnya pada luka yang tak akan pernah kecil.
**
Berapa saat setelah pembicaraan mereka berakhir, Taeyong akhirnya berpamitan pulang. Jaehyun sempat menawarkan diri untuk mengantar tapi Taeyong menolak halus.
“Aku tahu kau masih ada pekerjaan. Aku bisa sendiri.”
Seperti biasa, Jaehyun tak bisa bilang tidak pada Taeyong.
Pintu ruang kerja Jaehyun tertutup pelan. Suara langkah kaki Taeyong menjauh perlahan, memudar bersamaan dengan kehangatan yang tadi sempat memenuhi ruangan itu.
Jaehyun masih duduk di tempatnya. Diam. Tak bergeming.
Tatapannya kosong menembus dinding di hadapannya, tapi di kepalanya, segala hal berputar cepat. Tangannya mengepal di atas lutut. Masih terasa sisa genggaman tadi. Lembut. Hangat. Tapi sayangnya… bukan miliknya.
Beberapa menit hening berlalu sebelum terdengar ketukan pelan.
“Masuk.” Ucap Jaehyun singkat.
Pintu terbuka. Johnny muncul sambil membawa dua cup kopi dari pantry. Tapi langkahnya melambat begitu melihat ekspresi Jaehyun—wajah tertunduk, bahu yang terlihat berat, seolah memikul beban tak kasat mata.
“Aku pikir kau butuh tambahan kafein.” Ujar Johnny pelan, lalu meletakkan satu cup di atas meja kerja Jaehyun.
Jaehyun hanya melirik sekilas.
Johnny menarik kursi dan duduk di seberangnya. “Kau baru saja bertemu Taeyong, kan?”
“Hmm.” Jaehyun mengangguk lemah.
Johnny menyandarkan tubuh ke kursi, lalu menatap temannya dalam diam.
“Dia bilang apa sampai kau kelihatan seperti baru saja menyerap seluruh beban dunia?”
Jaehyun butuh waktu untuk menjawab. Ia menatap kosong ke meja sebelum akhirnya bersuara pelan. “Orang tuanya ingin menjodohkannya.”
Johnny mengangkat alis. “Serius?”
Jaehyun mengangguk sekali lagi. “Dengan anak rekan bisnis ayahnya. Taeyong jelas menolak. Jadi... dia mencari cara agar perjodohan itu batal.”
“Dan kau bagian dari rencananya?”
“Dia bilang, orang tuanya hanya akan membatalkan rencana itu kalau dia memperlihatkan seseorang yang dia cintai.”
Johnny mengangguk pelan. “Lalu... dia memintamu berpura-pura menjadi orang itu.”
Satu anggukan kecil lagi.
Johnny menghela napas panjang. “Dan kau setuju?”
Tak langsung dijawab. Jaehyun menunduk, sebelum membisikkan. “Ya.”
Johnny tak langsung merespons. Ia hanya menatap Jaehyun yang kini menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
“Aku mengerti kenapa kau melakukannya. Tapi kau yakin? Ini bukan perkara kecil, Jaehyun.”
“Menurutmu, sejak kapan aku benar-benar bisa mengatakan tidak padanya?” suara Jaehyun nyaris tak terdengar. Penuh letih, penuh getir.
Johnny tak membalas. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang bisa mengubah kebenaran itu.
Jaehyun menurunkan tangannya perlahan, bersandar ke kursi, menatap langit-langit ruangan kosong yang entah kenapa terasa terlalu luas sore itu.
“Aku bisa punya semua hal, Jo. Tapi tidak pernah bisa memiliki satu-satunya hal yang paling aku inginkan.”
Johnny menatap Jaehyun lama sebelum akhirnya berucap pelan. “Kalau suatu saat nanti kau mulai terlalu sakit, setidaknya… kau harus tahu kapan berhenti.”
Jaehyun tak menjawab. Karena ia tahu… ia mungkin tidak akan pernah bisa.
Pintu kembali tertutup setelah Johnny pamit keluar, meninggalkan Jaehyun sendirian di dalam ruangannya yang kembali hening. Tak ada suara selain detak jam dinding dan dengung pelan dari AC.
Jaehyun bersandar lebih dalam ke kursinya. Matanya menatap langit-langit ruangan kosong itu, tapi pikirannya jauh, terlalu jauh, menyusuri tahun-tahun yang telah ia lewati bersama Taeyong.
Sahabat sejak kecil. Teman berbagi tawa, mimpi, dan segalanya.
Sampai akhirnya, semua menjadi tidak sesederhana itu.
‘Aku tidak tahu sejak kapan mulai merasa seperti ini padamu.’ Batin Jaehyun.
‘Mungkin sejak kau pertama kali bilang akan tetap tinggal di Seoul bersamaku, sementara keluargamu pindah ke Busan. Atau mungkin saat kau menangis diam-diam waktu aku sakit dan dirawat di rumah sakit. Atau… saat kau dengan enteng bilang bahwa tidak ada orang yang mengenalmu lebih baik dariku.’
Jaehyun memejamkan matanya.
Tangannya mengusap wajahnya perlahan, seolah mencoba menyeka perasaan yang tidak bisa dihapus dengan jari.
“Sekarang kau datang padaku, meminta tolong untuk bersandiwara menjadi seseorang yang kau cintai. Tanpa kau tahu... aku sudah melakukannya sejak lama. Memainkan peran itu dalam diam, tanpa naskah, tanpa panggung.”
Senyum miris menyentuh sudut bibirnya.
Jaehyun membuka matanya kembali, berdiri perlahan, melangkah ke dekat jendela. Menatap langit yang mulai mendung di luar sana.
“Andai kau tahu, Taeyong... Andai saja kau tahu betapa aku ingin menjadikan semua ini nyata. Tapi sayangnya, yang nyata hanya aku.”
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Tapi wajahnya tetap tenang—seperti biasa.
Sunyi kembali menguasai ruangan. Tapi kali ini, sunyinya menggema lebih dalam.
***
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.