“Taeyong…” katanya sekali lagi. Kali ini lebih pelan. “Ini bukan hal kecil.”
“Aku tahu.”
“Ini kebohongan.”
“Aku tahu,” ulang Taeyong lagi. “Tapi hanya sebentar. Hanya sampai mereka percaya bahwa aku tidak butuh dijodohkan.”
“Dan setelah itu?” suara Jaehyun terdengar sedikit lebih dalam sekarang. “Setelah itu, apa yang tersisa?”
Taeyong terdiam. Ia tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi matanya kini memohon dengan cara yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang tumbuh bersamamu sejak kecil, yang tahu letak kelemahanmu bahkan tanpa mencoba.
“Hyun… kumohon. Hanya kali ini saja, aku tidak akan membiarkan ini berlangsung terlalu lama. Aku hanya butuh kau menemaniku saat bertemu mereka. Sekali, mungkin dua kali.”
Ia menatap Jaehyun dalam-dalam, nada suaranya pelan tapi penuh keyakinan.
“Setelah itu... aku bisa pelan-pelan memberi jarak. Dan beberapa minggu kemudian aku akan bilang kalau hubungan kita tidak bisa dipertahankan karena perbedaan pandangan atau jadwal pekerjaan. Alasan klise yang masuk akal.”
“Jadi,” Jaehyun akhirnya bersuara, nadanya datar, “kau sudah merencanakan akhir dari hubungan ini bahkan sebelum kita mulai.”
Kata-katanya tidak bernada marah, tidak juga menyindir. Tapi entah kenapa justru terasa lebih menyakitkan.
Taeyong kembali terdiam. Tidak sadar bahwa kalimatnya barusan baru saja menyayat satu titik yang selama ini Jaehyun lindungi mati-matian, harapan yang tidak pernah ia izinkan tumbuh.
“Maaf.” Bisik Taeyong akhirnya. “Aku tahu ini terdengar buruk. Tapi… hanya kau yang bisa membantuku, Jaehyun.”
Jaehyun menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri dan berjalan pelan ke arah jendela besar di belakang meja kerjanya. Pandangannya jatuh pada siluet kota Seoul yang sudah mulai memudar dalam cahaya jingga sore hari.
Ia ingin menolak. Sungguh ingin menolak.
Tapi Taeyong tetaplah Taeyong—poros dari banyak hal dalam hidup Jaehyun.
Dan Jaehyun tetaplah Jaehyun—yang sejak dulu, bahkan hingga detik ini tidak benar-benar bisa mengatakan “tidak” pada satu orang itu.
Hening beberapa detik terasa seperti jam.
Akhirnya, tanpa menoleh, Jaehyun bersuara.
“…Baiklah.”
Taeyong langsung menegakkan tubuhnya, mata sedikit membulat.
“Benarkah?”
Jaehyun menutup mata sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Aku akan lakukan.”
Ia akhirnya menoleh, mencoba tersenyum kecil, tapi ekspresinya terlalu tenang untuk disebut bahagia.
“Hanya sampai mereka percaya, kan?”
Taeyong mengangguk cepat. Taeyong berdiri, langkahnya maju setengah, menggenggam tangan Jaehyun. Tangan yang selalu terulur padanya entah saat ia jatuh ketika pertama kali belajar naik sepeda atau saat ia sedang membutuhkan pegangan saat hidup terasa terlalu berat dijalani sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between The Lines (JAEYONG)
FanfictionApa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan? Bagi Taeyong, ini hanya peran. Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan- sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri. Between the Lines membawa kit...
Chapter 2
Mulai dari awal
