Apa jadinya jika sahabatmu sejak kecil menjadi pasangan kontrak demi menyelamatkanmu dari perjodohan?
Bagi Taeyong, ini hanya peran.
Bagi Jaehyun, ini adalah kesempatan-
sekaligus luka yang sudah lama ia simpan sendiri.
Between the Lines membawa kit...
“Kenapa tidak?” ujar Ten ringan. “Kau tahu sendiri hubungan seperti itu sudah tidak terlalu tabu sekarang. Eomma dan Appamu juga bukan tipe yang kolot. Selama kau terlihat bahagia dan serius, mereka pasti pertimbangkan.”
Doyoung mengangguk setuju. “Lagipula mereka bilang ‘seseorang yang kau cintai’, bukan ‘wanita yang kau cintai’, kan?”
Taeyong mendesah, lalu bersandar. Ia tidak langsung menjawab, hanya membiarkan pikirannya melayang.
Hening sesaat. Lalu…
“…Jaehyun.”
Ten dan Doyoung langsung terdiam. Udara di ruangan seolah membeku.
Taeyong tidak sadar perubahan ekspresi di wajah kedua sahabatnya. Ia masih menatap kosong ke langit-langit ruangan, seperti sedang menimbang-nimbang ide yang baru saja muncul.
“Dia orang yang paling mungkin kutanyai soal ini.” Lanjut Taeyong pelan. “Kami sudah saling kenal sejak kecil. Dia pasti tidak akan banyak tanya dan… mungkin akan setuju membantu.”
Ten menunduk, pura-pura sibuk membuka kotak makan siangnya lagi. Doyoung menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dan memejamkan mata sejenak, seolah menyusun kata.
“…kenapa diam?” tanya Taeyong, kini memandang mereka berdua bergantian.
Doyoung akhirnya berkata, suara rendah tapi mantap. “Kau yakin, Yong? Yakin itu pilihan paling baik untukmu… dan untuk Jaehyun?”
Taeyong mengerutkan alis. “Tentu saja. Dia sahabatku. Kami sudah terbiasa saling membantu. Kami bahkan pernah tinggal serumah selama bertahun-tahun. Bukankah itu justru membuat semuanya terasa lebih alami?”
Ten akhirnya angkat bicara, pelan namun terasa hati-hati. “Aku hanya ingin kau tahu… tidak semua hal yang terlihat sederhana, benar-benar sesederhana itu.”
Taeyong menatapnya, bingung. Tapi sebelum sempat bertanya lebih jauh, Doyoung bangkit dari kursinya.
“Jam istirahat sudah hampir habis.” Ujarnya singkat sambil merapikan jas labnya. “Kalau kau benar-benar ingin minta bantuan Jaehyun, sebaiknya pikirkan baik-baik dulu.”
Ten menyusul berdiri, menepuk bahu Taeyong sebentar. “Dan… kalau bisa, jangan buat orang yang mencintaimu harus berpura-pura.”
Taeyong menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Tapi Ten hanya tersenyum tipis, tak menjawab, lalu keluar dari ruangan bersama Doyoung.
Setelah pintu tertutup dan langkah kaki Doyoung serta Ten menjauh, ruangan kembali sepi. Taeyong masih duduk di tempat yang sama, menatap layar ponselnya yang tergeletak di meja kecil di depannya.
Nama Jaehyun terus bergema di kepala.
Sahabat sejak kecil. Seseorang yang selalu ada. Yang bahkan bersedia berbagi atap bertahun-tahun lamanya. Tidak ada orang lain yang lebih bisa ia percaya. Tidak ada yang lebih aman dari Jaehyun.
Ia menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Jempolnya sempat ragu beberapa detik di atas layar sebelum akhirnya menekan ikon kontak bernama “Hyunie” dan menunggu sambungan tersambung.
Nada sambung terdengar tiga kali sebelum suara berat yang begitu dikenalnya menjawab di seberang.
“Halo?”
“Hyun,” jawab Taeyong, agak cepat. “kau sedang sibuk?”
“Baru selesai meeting. Ada apa?” suara Jaehyun terdengar sedikit khawatir. “Kau baik-baik saja?”
“Aku… aku ingin bicara. Bisa kita bertemu hari ini?”
“Tentu. Aku bisa ke rumah sakitmu sekarang.”
Taeyong buru-buru menggeleng, meski tahu Jaehyun tidak bisa melihat. “Tidak perlu. Aku yang akan ke tempatmu saja. Sekitar jam empat, kau masih di kantor?”
“Iya, aku akan pastikan tidak ada jadwal lagi setelah itu.”
“Baik. Aku ke sana nanti.”
“Taeyong.”
“Hm?”
“Kau yakin semuanya baik-baik saja?”
Taeyong terdiam sejenak, lalu memaksakan senyum meski hanya untuk dirinya sendiri. “Belum tahu. Mungkin akan jadi baik, kalau pembicaraan nanti berjalan lancar.”
“…Baiklah. Aku tunggu.”
Sambungan terputus. Taeyong meletakkan ponsel perlahan dan menyandarkan kepala ke sandaran sofa.
Ia tahu Jaehyun akan membantu. Tapi untuk pertama kalinya sejak percakapan soal perjodohan itu, dadanya terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal, tapi belum bisa ia uraikan.
Ia bangkit dari sofa, merapikan jas dokternya dan melangkah keluar. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan.
Membatalkan perjodohan. Dengan bantuan satu-satunya orang yang tidak pernah sekalipun meninggalkannya.
***
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.