"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!"
"Fact one: you're annoying. Fact two: that's it."
.
S...
Mobilnya bergerak perlahan. Ia mendekat, melewati batas kewarasan yang selama ini masih ia genggam erat. Dalam pikirannya hanya ada satu tujuan: jika Zea benar-benar membawa bencana sejak awal, maka sudah saatnya bencana itu dihentikan.
Ia menatap jalanan dengan pandangan tajam. Zea berdiri di seberang, menunduk sedikit, seolah sedang menunggu lampu penyeberangan. Tak ada orang lain di sekitarnya yang memperhatikan. Jalan cukup lengang, hanya satu dua mobil melintas. Udara pagi masih dingin, namun tubuh Rania terasa panas terbakar.
Zea mulai bergerak.
Langkahnya ringan, tak terburu-buru, seperti seseorang yang percaya dunia sedang baik-baik saja, tapi tidak bagi Rania. Dunia ini sudah runtuh sejak Hana kehilangan akalnya.
Saat itu juga, Rania menekan pedal gas. Sekuat tenaga.
Mobil melaju.
Udara menegang.
Benturan terdengar begitu keras. Suara pelat logam menghantam tubuh manusia, disusul suara jeritan dari arah lain. Beberapa orang berlari menghampiri. Barang belanjaan Zea terlempar ke udara, roti dan botol air berserakan di aspal yang memantulkan cahaya pagi.
Rania sempat menoleh.
Matanya membelalak. Di tengah jalan, tidak hanya satu tubuh yang tergeletak, ada dua.
Bukan hanya Zea.
Seseorang-entah siapa-berusaha menyelamatkan gadis itu tepat sebelum mobil menghantam. Tapi mereka berdua terseret, tubuh mereka berhenti dengan sudut yang tidak wajar, tergeletak diam di tengah kepanikan yang membuncah.
Rania menahan napas, tangannya gemetar di atas kemudi. Tapi ia tidak berhenti. Tidak melambat. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menekan gas lebih dalam, melaju menjauh dari lokasi kejadian tanpa menoleh lagi.
Ia meninggalkan kaca yang retak, bemper yang penyok, dan sepasang tubuh yang belum bergerak di belakangnya.
Apa pun yang terjadi setelah ini, bukan lagi urusannya.
.
Seyren sudah sadar sejak tadi. Sejak matanya terbuka beberapa jam lalu, ia belum banyak bicara. Hanya diam; menyerap semuanya, mencoba memastikan bahwa ini bukan mimpi lain-bukan kelanjutan dari dunia yang ia doakan tak pernah harus ia tempati lagi.
Di samping tempat tidurnya, Maya tak henti mengoceh. Tangannya sibuk mengupas buah, lalu memotongnya kecil-kecil ke dalam wadah plastik, padahal tak ada yang minta. Itulah Maya, Mami Seyren; cerewet, sayang, dan tak pernah bisa diam kalau hatinya campur aduk.
"Dari tadi melek tapi ngacir ke mana aja tuh pikiran ... kayak lagi ngitung cicilan motor, tahu nggak," gumam Maya sambil menyodorkan garpu berisi potongan apel. "Seyren ... kamu denger Mami kan? Jangan bengong terus, ntar disangka amnesia loh sama suster!" lanjutnya menahan derai air mata.
Seyren tidak menjawab; hanya mengedip pelan. Tapi kali ini, kepalanya menoleh sedikit ke arah Maya. Pandangannya masih berat, tapi lebih tenang, lebih hidup.
Maya langsung terdiam. Ia menatap balik anaknya dengan mulut setengah terbuka. Perlahan, air matanya jatuh, tapi senyumnya lebar sekali.
"Ya Allah ... neng denger. Dia nengok. Dia nengok, beneran. Astaga ...!"
Seyren mengerjap. Lalu bibirnya bergerak sangat pelan. ".... Mi."
Suara itu kecil; serak seperti baru dilatih lagi setelah lama hilang. Tapi cukup untuk membuat Maya memekik kecil-setengah lega, setengah panik.
"Bian! Bian, sini! Adek lo manggil gue! Allahu akbar... jangan bikin Mami mewek terus, Ren. Lo bangun juga akhirnya ...."
Pintu terbuka. Seorang lelaki masuk lebih dulu. Tubuhnya tinggi, kulitnya nyaris dipenuhi tato, dan ekspresinya jelas menunjukkan kelegaan yang sulit disembunyikan, itu Bian. Di belakangnya, seorang gadis berambut pendek menyusul masuk, matanya berbinar lega, Thea segera mendekat.
"Ren." Bian langsung menghampiri sisi tempat tidur. "Akhirnya ...."
Thea berdiri di sisi lain. "Lo bikin kita deg-degan seminggu penuh. Jantung gue rasanya nggak pernah stabil."
Seyren menatap mereka satu per satu. Napasnya tertahan, lalu mata itu mulai memerah. Perlahan ia angguk kecil, seakan baru benar-benar percaya ... bahwa ia kembali.
Tapi sebelum ada yang sempat menambahkan apa pun, pintu kembali terbuka, seseorang masuk, seorang lelaki berkacamata. Langkahnya pelan, nyaris ragu, seperti tak yakin apakah ia boleh masuk.
Begitu melihatnya, Seyren tidak berkedip. Matanya membulat, lalu berkaca-kaca lagi.
Tanpa aba-aba, ia mengangkat tubuhnya setengah duduk, dan langsung memeluk lelaki itu.
"Ren ...?" Maya terkejut.
Raka nyaris tersandung karena reflek mundur, tapi tubuhnya tertahan oleh pelukan Seyren. Ia membeku; tidak menolak, hanya diam, lalu perlahan menepuk punggung Seyren pelan.
"Lo ... nggak apa-apa?" tanyanya hati-hati.
"Gaska ...." Seyren mengangguk dalam pelukannya. Suaranya bergetar. "Gue mimpi buruk banget ... tapi lo ada di sana, nemenin gue."
Thea melangkah maju; menyentuh lengan sahabatnya itu. "Ren ... dengerin. Dia bukan Gaska, dia Raka." meskipun ia sendiri tidak tahu dari mana nama Gaska berasal.
END
Serius udah end?
Iya hehe.
Sampai jumpa di extra part, dan sampai jumpa juga di karyaku selajutnya.
Jangan lupa vote!
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.