14.

34.8K 1.9K 28
                                        

Kelas olahraga hari ini berlangsung tanpa guru. Para siswa dibiarkan beraktivitas sendiri, selama tidak membuat onar. Lidya, ketua kelas mereka, tengah berjuang mengerahkan seluruh teman sekelasnya untuk berolahraga seperti yang di amanahkan oleh Pak Wisnu. Untuk ukuran gadis jutek seperti Lidya, teman-temannya banyak yang segan untuk menolak.

Hanya Zea saja yang berani terang-terangan duduk manja di tribun, bahkan, seragam pun tidak ia ganti menggunakan baju olahraga.

Zea menyilangkan kaki dengan wajah bosan. Tanpa Dira, yang lebih memilih menghabiskan waktu di ruang OSIS, Zea sama sekali tak tertarik untuk bergerak. Matahari terasa menyengat, membuatnya semakin malas.

Dari sini, Zea bisa melihat beberapa gadis-gadis sekelasnya yang tengah menggerutu kegerahan. Lidya masih sibuk mengatur teman-teman mereka. Beberapa anak terlihat setengah hati mengikuti instruksinya, sementara yang lain justru diam-diam mencari celah untuk kabur.

Gadis itu terkekeh. Sepertinya hanya ia saja yang tidak perlu repot-repot berkeringat hari ini.

Ia menyandarkan punggung ke bangku tribun, membiarkan angin yang dikeluarkan kipas portable berembus menerpa wajahnya.

"Panas banget kan? Tenang, gue ada solusi."

Zea menatap Elga datar. "Lo nyari info soal Dira lagi?"

Elga tersenyum lebar. "Ketahuan?"

"Jelas," Zea mendengus. "Lo udah beberapa kali nanya, sekarang lo bawa kipas buat nyogok gue."

Elga tertawa kecil. "Nggak salah dong, gue usaha."

Zea menghela napas. "Gue penasaran. Sejak kapan lo naksir Dira?"

Pegal memegang kipas menggunakan tangan kanan, kini Elga berganti menggunakan tangan kiri. "Gue juga nggak tahu. Tiba-tiba aja."

Zea menatapnya dengan skeptis, Elga mulai membuka mulut untuk bercerita.

Elga sibuk menata makanannya di nampan saat Dira tiba-tiba melintas dengan segenggam kertas dan, entah bagaimana, siku gadis itu menyenggol tangannya. Sup panas yang baru saja ia beli tumpah ke meja.
  
"Oh," Dira menoleh sebentar. "Ya udah, tinggal beli lagi."
  
Elga ternganga. "Gue nggak bawa uang lebih."
  
Dira tanpa ekspresi mengambil dompetnya, mengeluarkan uang, lalu meletakkannya di samping Elga. "Kompensasi. Jangan bilang siapa-siapa."

Elga menatap uang itu seperti melihat sesuatu yang mistis.

Lalu, di ruang OSIS.

Elga masuk untuk mencari formulir kegiatan. Dira ada di dalam, sedang menatap laptop dengan tatapan kosong. "Lo nggak sibuk, kan?" tanya Elga.

"Gue lagi mengosongkan otak sebelum ngisi lagi," jawab Dira tanpa menoleh.
  
Elga mengerutkan dahi. "Oke ... Gue cari formulir dulu."
  
"Di laci bawah, paling ujung."
  
Elga membungkuk untuk mengambil formulir, tapi laci itu macet. Ia menarik lebih keras, dan ... semua dokumen berjatuhan.
  
Dira tetap duduk tanpa bereaksi. "Itu risiko." Lalu, ia kembali mengetik.

Juga di perpustakaan.

Elga duduk di seberang Dira, berusaha belajar untuk ujian. Namun, tiap beberapa menit, ia selalu menyempatkan melirik Dira yang dengan tenang mencoret-coret catatannya.

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now