Vote dan komen kalian akan sangat membantu perkembangan cerita ini.
.
"Kenapa sih?!"
Tepat saat sampai di depan kelasnya, Zea akhirnya menghempas jauh tangan Gaska, membebaskan lelaki yang sedari tadi gelisah karena kaitan Zea yang rekat melebihi lem super itu.
Gaska hanya merapikan lengan seragamnya dengan ekspresi datar. Tatapannya dingin saat akhirnya ia memandang Zea. "Elo yang kenapa? Gatel banget hari ini."
"Heh, harusnya lo tuh bersyukur bisa gue gandeng, banyak yang ngantri, tahu!"
Gaska menghela napas, menatapnya tanpa ekspresi. "Gue nggak tertarik buat gabung antrian apapun."
Zea mendengus, bersedekap. Tatapannya menantang, bibirnya menyunggingkan senyum penuh percaya diri.
"Ayo pacaran."
Gaska nyaris tidak bereaksi. Sekadar menaikkan alis. "Sekarang banget?"
"Iya." Zea melangkah mendekat, nyaris menempel lagi, matanya berbinar penuh tekad. "Lo mau nggak jadi pacar gue?"
Beberapa siswa yang kebetulan lewat di koridor mulai memperlambat langkah, menoleh dengan tatapan penasaran. Bisik-bisik mulai terdengar, tapi Zea tidak peduli. Matanya tetap terkunci pada Gaska yang masih setenang air di kolam.
Gaska menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. "Lcd lo kena ya?"
"Jawab!" Zea bersikeras, tangannya kini terlipat di dada.
Gaska mengamati ekspresi gadis itu, lalu akhirnya mengangkat bahu. "Boleh. Kapan kita putus?"
Zea hampir tersedak. "Hah?"
"Kalau kita jadian, berarti ada putusnya, kan? Gue cuma pengen tahu kira-kira berapa lama."
Tatapan Zea seketika berubah tajam. "Gue serius, bego!"
Gaska hanya terkekeh pelan. "Justru itu masalahnya. Lo kebanyakan serius, sampai nggak sadar kalau ini konyol."
Zea terdiam. Sekelebat rasa panas merayap ke wajahnya, tapi ia menepisnya cepat. Ia bisa merasakan tatapan beberapa orang yang masih menunggu drama lanjutan.
Dengan cepat, Zea melangkah lebih dekat, menatap Gaska lebih menusuk lagi. "Oke. Gue kasih lo waktu seminggu buat nggak jatuh cinta sama gue. Kalau lo gagal, lo bakal minta maaf di depan semua orang karena udah ngehina perasaan gue."
Gaska menatapnya tanpa ekspresi, sebelum akhirnya mengedikkan bahu. "Terserah lo aja."
Tanpa menunggu lebih lama, Zea berbalik dan melangkah masuk ke kelasnya dengan dagu terangkat tinggi, sementara Gaska hanya terkekeh kecil sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya dengan santai.
Zea freak Maheswari, nama itu begitu saja terngiang di kepala Gaska, bahkan saat ia sudah melangkah jauh dari kelas Zea.
.
Mobil melaju tenang di jalanan Jakarta Selatan, melewati gedung-gedung tinggi dengan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Tapi suasana di dalam mobil jauh dari kata santai. Ray duduk di kursi belakang, diapit oleh kedua orang tuanya. Papa, Darian, duduk di samping sopir dengan tangan terlipat di dada, ekspresi dinginnya semakin memperkeruh udara di dalam mobil. Mama, Mia, sesekali melirik Ray melalui pantulan kaca spion, tampak menunggu sesuatu.
"Jadi, sampai kapan kamu mau main-main sama anak itu?" suara berat Darian akhirnya memecah keheningan.
Ray tetap diam, bukan karena takut, tapi karena malas. Ia sudah kehabisan tenaga untuk terus berdebat tentang hal yang sama. Apa pun yang ia katakan, Papa tidak akan berubah pikiran.
YOU ARE READING
Breaking The Script [END]
Teen Fiction"Idih!" Zea mendelik, kali ini duduknya menghadap Ray, dengan kepala sedikit mendongak dan menatap lelaki itu garang. "Lo bukan Jungkook, atau Gaska yang pantes buat gue caperin. Nggak worth it!" "Fact one: you're annoying. Fact two: that's it." . S...
![Breaking The Script [END]](https://img.wattpad.com/cover/391600165-64-k179879.jpg)