26.

29K 1.7K 42
                                        

Guys, maaf ya kalau cerita ini klise, aku hanya sedang berusaha agar cerita ini make sense dan nyambung ke logika kalian.

.

Langkah-langkah cepat Hana menggema di sepanjang lorong lantai tiga. Suasana sekolah sudah mulai sepi, hanya sesekali terdengar derit pintu kelas yang belum terkunci sempurna. Tangannya yang masih dibalut bidai menempel di sisi tubuh, ia tekan untuk menciptakan rasa sakit yang bisa membuatnya melupakan rasa kesal yang mengganggu.

Beberapa jam yang lalu, semuanya nyaris berjalan sesuai rencana, nyaris. Sampai Dira datang dan menghancurkan semua tanpa ampun. 

Sejak awal, Hana sudah memperhitungkan Zea. Tapi bukan Zea yang membuatnya cemas—melainkan gadis pendiam berkacamata itu, Dira.

Ia terlalu cerdas, terlalu awas, dan sekarang terang-terangan berada di pihak Zea. Hana tidak menyukainya, tidak seperti Gisel yang hanya ikut-ikutan demi perhatian, Dira punya arah, punya tujuan, dan itu berbahaya.

Langkah Hana terhenti begitu ia menengadah dan mendapati siluet seseorang tepat di ujung tangga.

Dira menatapnya datar, seperti biasa. Tak ada senyum, tak ada basa-basi. Hanya tatapan yang terasa menusuk.

"Masih jalan-jalan juga, ya, padahal masih cidera," ucap Dira pelan, hampir seperti gumaman. "Tangannya masih sakit?"

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan. Tapi aku baik-baik aja," balas Hana dengan senyum tipis. Suaranya lembut, tetap memainkan peran gadis manis yang selama ini ia bangun.

Dira menyipitkan mata. "Berhenti pura-pura, Hana."

Hana mengedip pelan, seolah tak mengerti. "Maaf?"

"Gue tahu lo nggak pernah suka sama Zea. Bahkan sebelum dia masuk sekolah ini."

"Aku nggak tahu apa maksud kamu." 

"Ayolah Hana ...." Dira menoleh. "Dia bahkan nggak perlu pura-pura jadi orang bego buat dapet semua perhatian yang lo mau itu."

Wajah Hana tetap tersenyum—tenang dan dingin. Tapi jarinya menegang di sisi tubuh.

"Aku cuma ingin berteman baik dengan semua orang," katanya manis.

"Dan lo gagal sekarang."

Hana terdiam. Tak membalas sepatah kata pun. Matanya menatap Dira dengan kilat yang tak biasa. Sekejap kemudian, ia melangkah mendekat—dan tanpa aba-aba, mendorong tubuh Dira dengan seluruh tenaga.

Dira kehilangan keseimbangan. Ia terjungkal ke belakang, membentur anak tangga satu demi satu, hingga tubuhnya terhenti di dasar tangga dalam posisi tak wajar.

Hana menatap ke bawah. Napasnya tenang. Tidak ada keterkejutan, tidak ada rasa bersalah.

Baginya, Dira hanyalah karakter bug, dan bug harus disingkirkan.

Namun saat ia hendak berbalik, matanya membelalak. Di ujung lorong, berdiri sosok lain.

Gisel.

Wajah gadis itu pucat pasi, tangan gemetar, mata terpaku pada tubuh Dira di bawah tangga.

Hana membeku sejenak, lalu matanya menyipit.

"AAAAA ...!" teriaknya sekencang mungkin.

Gisel terlonjak, panik.

"GISEL! GISEL DORONG DIRA! AKU LIHAT SENDIRI!" pekik Hana, menunjuk-nunjuk Gisel dramatis. "TOLONG ... DIRA SEKARAT ...!"

Gisel menggeleng cepat. "A-Apa?! Bukan gue! Gue—"

Breaking The Script [END]Where stories live. Discover now